Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Kimya sang Putri Rumi

“Hati kita luas tak terbatas. Kepiluan itu adalah hati yang sedang melebarkan sayapnya…”

Demikian nasehat Kerra, istri Maulana Jalaluddin Rumi, kepada Kimya tentang hidup dan Cinta. Novel yang ditulis Muriel Maufroy ini bercerita tentang kehidupan Kimya, putri angkat Maulana Rumi. Atau lebih tepatnya ia bercerita tentang Rumi dengan meminjam mata Kimya. Perempuan penulis asal Perancis yang bekerja lebih dari 20 tahun untuk BBC World Service ini cukup terampil membawa kita pada suasana pedalaman Turki dan gemerlap Kota Konya abad 13 M, saat dimana sufi & penyair besar Malana Jalaluddin Rumi menulis karya-karyanya. Dan yang lebih penting lagi ia fasih mengurai jalan Cinta.

Kimya adalah sosok takdir Cinta. Kelahirannya di tengah keluarga sederhana di pelosok pedalaman tak menghalanginya untuk menjalani takdirnya. Sejak kecil ia sudah sering “tersesat” dalam badai Cinta hingga dianggap anak aneh oleh keluarganya sendiri. Ketersesatan itu semacam energi melimpah ruah yang tak bisa dikendalikan Kimya kecil. Energi yang mempersuakannya dengan sang pemilik Cinta melalui cara yang belum sanggup ia menanggungnya.

Serena, seorang penganut pagan yang juga dukun kampung meramalkan secara tepat takdir Cinta Kimya. Menurut dukun tua itu: “Cinta adalah mata rantai di antara manusia yang membuat hidup kita bermekaran. Tetapi, agar kita dapat mekar sempurna, mata rantai itu harus diputuskan. Tugas cinta adalah membawa kita melampaui dunia keterpisahan. Hal itu tidak ada kaitannya dengan kebahagiaan di dunia ini. Cinta selalu demikian”

Dan takdir Cinta itulah yang merenggut Kimya. Membawanya ke Konya, bertemu dengan takdir Maulana Jalaluddin Rumi, sosok pria yang telah merambah mimpinya sejak kecil. Dalam bimbingan Maulana ia membaca puisi-puisi Attar, berusaha mereguk Cinta yang tersembunyi jauh di bawah alam bawah sadar.

Hingga suatu saat, mentor yang sangat dikaguminya, yang juga guru agung Kota Konya itu bersua dengan takdir yang dibawa seorang sufi pengelana asal Tabriz, Syamsuddin (Syams). Guru agung itu dalam sekejab berubah menjadi kanak-kanak yang dinaungi cahaya Syams. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan keduanya tenggelam dalam khalwat yang sangat intim. Dan warga Konya pun cemburu. Mereka merasa diabaikan dan menyalahkan Syams yang dimata mereka hanya pengemis dari timur yang telah merampas akal sehat guru agung Maulana. Ujungnya….mereka mengusir Syams dari Konya.

Mereka, warga Konya, tak sadar bahwa kepergian Syams laksana perginya mentari dari hati Maulana. Ia patah hati, berkepingan. Alih-alih kembali mengajar/membimbing warga Konya, Maulana justru tenggelam dalam haru yang tak tertanggungkan. Ia menulis ratusan syair patah hati yang ditujukan pada sang kekasih, Syams, yang entah berada dimana... Syair-syair itu kemudian menjadi bahan dasar kitab-puisi Dīwān-e Šams-e Tabrīzī, salah satu karya terbaik Rumi.

Tanpa sadar kepergian Syams juga menorehkan luka mendalam di hati Kimya, meskipun lelaki bermata elang itu nyaris tak pernah menyapanya, tetapi terjangan matanya bagai angin topan yang sanggup membakar semua yang dilaluinya. Ia selalu terkenang kalimat Syams tentang “Mawar dari Tabriz, berwarna kuning pucat dengan hati yang berdarah-darah. Hanya hati yang berdarah-darah-lah yang sanggup mereguk Cinta”. Kimya tak pernah bisa memahami kalimat itu, tetapi jiwanya selalu tergetar setiap kalimat itu melintas di kepalanya.

Rupanya Syams kembali. Dan sekarang takdir 3 orang itu, Rumi-Syams-Kimya, demikian bertaut.. Apalagi setelah Rumi menikahkan Syams dengan Kimya. Dan Kimya menerimanya dengan penuh suka cita, sekaligus kebimbangan teramat sangat… “Bagaimana mungkin aku bisa mendampingi pria sekuat Syams…” Hingga Kerra kembali mengingatkannya bahwa “Semua pria mulia dan kuat pada dasarnya adalah rapuh dan mudah dilayani”. Tetapi bagaimana menjinakkan mawar Tabriz yang hatinya berdarah-darah..???

Umumnya warga Konya menganggap pernikahan Syams-Kimya tak berbahagia dan mereka menyalahkan Syams, sosok yang sejak sononya telah dibenci warga Konya. Bahkan terkadang Kimya pun merasakan hal yang sama, ketika suaminya nyaris tak pernah menyentuhnya. Syams menghabiskan waktunya di kamarnya sendiri, berkhalwat dengan Sang Cinta. Naluri istri teramat sering menenggelamkan takdir Kimya. Betapapun ia hanyalah wanita normal yang butuh kehangatan duniawi. Ia bingung bagaimana membangun hubungan dengan suaminya, bagaimana memposisikan; apakah Syams seorang suami, atau seorang Guru?

Hati Kimya terluka parah, bukan sekadar karena pengabaian oleh suaminya, tetapi oleh kebingungannya sendiri, antara menjalani hidup sebagai istri atau menjalani takdir Cinta. Hingga sekali lagi Kerra menguatkannya:

“Ketika hatimu terluka parah hanya ada 3 aturan main: Jangan mengenyahkan kepedihan itu, jangan pernah mencoba mengerti (memahaminya), dan jangan tenggelam dalam kepedihan itu. Buatlah dirimu berserah diri seperti sebatang dahan yang terperangkap dalam badai. Biarkan badai itu menghantammu. Jangan pernah menentangnya dan jangan pula membantah keberadaannya. Dan jangan pernah menyesalinya”.

“Biar hati merengkuh segalanya, kadang ketika akal kita tidak mampu menerima sesuatu, biarkan hati yang menerimanya. Hati menginginkan semuanya dengan lapang dada. Apa yang dianggap baik atau buruk, apa yang dianggap bahagia atau apa pun yang kita sangka sebagai penderitaan, dan hati tidak mengenal imbalan maupun hukuman. Bisakah kau membayangkannya?”

Dan…Hikmah dari Allah datang sebebas burung…
Ia tak pernah datang ketika Kimya demikian mengharapkannya. Tetapi justru datang dengan penjelasan yang lengkap ketika Kimya mengabaikan (tak memikirkannya). Sebuah penjelasan yang sangat murni, bahwa di suatu tempat di pusat badai itu….ada keheningan yang merupakan sarang kebahagiaan. Kebahagiaan yang hening itu merupakan kedamaian dan kekuatan tanpa batas.

Hening adalah bahasa di atas semua bahasa, yang justru dapat ternoda oleh kata-kata. Dan pusat keheningan itu adalah perjumpaan dengan Sang Cinta….
Lalu semuanya menjadi ringan bagi Kimya. Bagai kapas Ia terlepas dari semua beban di hatinya tanpa harus bersusah payah mencari pengertian.

Apalagi ketika di suatu malam yang ganjil, Syams mengundangnya dalam perjumpaan agung. Ekstase dalam tarian siklis yang memabukkan. Cikal bakal tarian darwis.
Maulana Rumi pernah mengatakan bahwa kebanyakan orang tidak siap menari dalam genggaman Tuhan karena mereka tidak siap dan tidak bersedia untuk terbakar….

Ah… ini apa ya… resensi bukan, review juga kurang pas. Ini hanya mengoceh.
Puji syukur setelah speedy tumbang seharian, dan “terpaksa harus membaca novel” yang tergeletak tak berdaya lebih sebulan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS