Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Tentang Pengharapan

Hari ini aku berkesempatan merenungkan makna satu ayat yang pernah kutulis dalam posting sebelumnya: Wa laa taeasuu min rahmatillah..; dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.

Sebelumnya jangan berprasangka dulu kalau aku sedang (lebih) relijius. itu fitnah! aku tetap sama dengan kemaren-kemaren. Hanya sedang merenungkan satu ayat.

Latar belakangnya pun sederhana. Dua bulan terakhir ini praktis tidak ada program yang jalan mulus. Ada yang sudah MoU tapi pelaksanaannya diundur-undur. Ada yang sudah komitmen tiba-tiba lari. Sudah ACC tapi yang bersangkutan malah mengundurkan diri, dll... hingga membuatku limbung dan nyaris berhenti berharap. Hampir mengikhlaskan itu semua. Belum rejeki kalau bahasa awamnya. Prihatin melihat isi dompet yang kian menipis, melihat teman-teman yang sedang banyak kebutuhan; SPP, istri melahirkan, kredit-kredit..

Dan tiba-tiba dering hape tadi pagi memberi kehangatan yang melebihi segelas kopi pagi. Alhamdulillah ada satu yang gol. Hanya (baru) satu, tapi itu sudah cukup menutup gelisah. Dan akupun teringat pesan suci: laa taeasu, janganlah berputus asa.

Allah tak akan membiarkan kita mati dalam harapan, terkecuali DIA demikian mencintai kita. Tak apalah "sedikit" kurang dicintai oleh yang Maha adil... memang baru disitulah maqam kita. diuji dengan cobaan dan hambatan, ditantang untuk bersabar.

Lalu ujian yang lebih berat justru hadir ketika keinginan telah dipenuhi. Seketika menjadi lebih kikir. Ketika rezeki belum sampai, kita bernazar macam-macam, begitu rezeki dipenuhi sebagian nazar itu kita revisi karena bayangan keinginan dan nafsu berputar-putar mengitari kepala...; tentang laptop baru (yang lama masih bisa dipakai), tentang plesir ke Bandung (ibukota republik nafsu), BB seri terbaru, dst

Menjadi malu mengingat testimoni seorang kawan, senior, sekaligus guru. Beliau berkata: ketika mendapat 500 USD aku nekad membagikan 300 USD untuk beberapa teman, besoknya datang 1.000 USD lalu kudermakan 500 USD, minggu depannya turun 3.000 USD.. Tiada perniagaan yang lebih menguntungkan dari berniaga dengan Allah.

Contoh di atas kurang baik buat yang masih suka menghitung-hitung isi kantong. Sekalipun pamrih tidak dilarang, jengah juga membayangkan kita mendermakan 300 USD dengan pengharapan mendapat 1.000 USD besok. Kecuali mental ruhani anda telah sangat siap dengan formula ikhlas.

Lebih mudah barangkali; batasilah kebutuhan anda, ambil berapa yang benar-benar kita perlukan lalu ikhlaskan sisanya. Tapi berapa yang benar-benar kita perlukan? dunia menuntut kita terus menambah daftar kebutuhan.... Juga pasti ada yang usil bertanya: Kapan kayanya kalau caranya demikian....?

Kehidupan modern mengajarkan kita menabung, sebanyak mungkin menabung... Sedangkan Rasulullah menghimbau kita membatasi diri. Asal ada cadangan makanan untuk beberapa hari, Rasul mendermakan sisanya. Salah satu dampak menabung adalah membuat kita jadi hemat (baca kikir).

Aku baca kisah sukses Warren Buffet, salah satu orang terkaya di dunia yang mewariskan sebagian besar kekayaannya untuk kepentingan masyarakat, bukan kepada anak-anaknya. Beliau berkata: pada titik puncak kejayaan bisnis, rezeki mengalir demikian deras sehingga kita kerepotan menampungnya, padahal kita tidak melakukan apa-apa yang sebanding dengan derasnya rezeki itu, oleh karenanya itu harus dikembalikan lagi pada masyarakat.

Intinya adalah, buat aku.... aku tak ingin menjadi kaya karena berhemat (baca kikir), aku ingin menjadi kaya karena derasnya tambahan rezeki. mudah-mudahan bisa.

Maka dari itu... sepertinya aku harus menjadwalkan traktir karaoke di Inulfista untuk teman-teman (loooohhh kesimpulannya kok...hehehe)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Seleksi

Sebenarnya aku tak terlalu dekat dengan keluarga, tapi melihat keponakanku yang baru gagal SNMPTN kemaren sore (baca: tidak diterima di UI)kok jadi kesentuh banget ya. Mungkin karena telah semalaman dia menangis hingga perutnya sakit, mungkin karena dia anak yatim, mungkin karena aku ingin sekali membalas budi pada ibunya yang ikut andil mengasuh masa remajaku... entahlah...

"terpaksa" aku memeluk dan mencium kedua pipinya. Hal pertama yang pernah kulakukan untuk keponakan-keponakanku. Sekadar memberi pesan bahwa aku ikut prihatin dan tetap menyokongnya. Yah... kami memang berasal dari keluarga yang irit sekali mengekspresikan kasih sayang.

Aku juga pernah merasakan kecemasan yang sama, dulu... zaman UMPTN. Bingung, sedih, takut bercampur jadi satu. Dan terpaksa harus menunggu satu tahun untuk ikut UMPTN berikutnya. Untungnya zaman sekarang ada ujian berlapis-lapis. Jika gagal di SNMPTN bisa langsung ikut lagi melalui seleksi jalur SIMAK UI, meskipun tidak menjamin tapi setidaknya memberi sedikit harapan baru.

Semoga dia lebih beruntung di ujian SIMAK UI besok. Aku yakin dia lebih pintar dari aku dulu. Minimal bisa mengurangi beban ibunya. Sing sabar yo nduk...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS