Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

HAJI: Tentang Kemabruran

Enam tahun lalu, dalam satu blog yang sudah kuhapus, aku pernah membuat tulisan singkat berjudul Kaji Sapi atau Haji Sapi. Bukan menunjuk kepada orang yang naik haji karena menjual sapi, tetapi berasal dari ungkapan kekesalan seorang tetanggaku terhadap seorang haji (berpici warna putih seperti warna kulit sapi) yang setelah pulang dari haji masih tetap berperilaku buruk, rakus tanah hingga menyerobot batas tanah tetangganya. Dasar Haji Sapi! Demikian umpatnya.

Kita sering mendengar istilah Mabrur, semua jamaah mengharapkan kemabruran, aku—meskipun kurang pede—juga mengharapkannya.

Tidak ada ukuran yang jelas tentang kemabruran. Orang-orang yang merasa mendapatkan pengalaman ruhani yang aneh-aneh selama di tanah suci, itu bukan ukuran kemabruran. Demikian juga orang yang berlinang air mata ingin berangkat haji lagi karena merasa demikian mencintai Ka’bah, bukanlah ukuran kemabruran.

Hanya Allah yang menentukan dan tahu siapa yang mabrur hajinya. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengilustrasikan bahwa dari 600.000 jamaah haji belum tentu ada 6 orang yang hajinya mabrur. Duhai sulitnya..

Seorang yang berkhutbah wukuf di tendaku di Arafah membuat penjelasan yang menarik tentang tanda-tanda atau indikator kemabruran. Penjelasannya berdasarkan sebuah hadist yang diriwayatkan Ahmad dan Thabrany: Dari Jabir RA, dari Nabi Muhammad SAW berkata "Haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga". Lalu beliau ditanya "Apa tanda kemabruran ya Rasul?" Rasul bersabda "Memberi makan orang yang kelaparan, dan tutur kata yang santun".

Ternyata tanda-tanda kemabruran berdasar hadist nabi bukanlah tanda-tanda yang bersifat spiritual/transendental (alibi seorang haji yang tidak bisa menangis di depan Ka’bah) tetapi murni bersifat duniawi.

Sang khatib menjelaskan: tutur kata yang santun atau lisan yang baik adalah lisan yang tidak pernah menyakiti hati yang mendengar, memberi semangat dan harapan bagi yang mendengar, menghadirkan kenyamanan buat siapa saja yang diajak bicara.

Memberi makan orang yang kelaparan adalah semangat untuk selalu berupaya meringankan beban orang lain; tangan, kaki, harta, dan hatinya selalu diringankan untuk digunakan membantu orang-orang lain.

Penjelasan yang sederhana, luhur, dan tidak semudah mengatakannya.

Semoga aku tidak menjadi Haji Sapi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

HAJI: Tentang Persaudaraan

Aku bertanya-tanya apakah sebenarnya Hijir Ismail itu?, bangunan setinggi dada berbentuk setengah lingkaran yang menempel pada salah satu sisi Ka’bah. Hal ini membuat Ka’bah seperti menghadap ke arah Hijir Isma’il. Saat berthawaf mengelilingi Ka’bah kita dilarang menyelinap pada lorong di antara Ka’bah dan Hijir Isma’il, itu membuat thawaf kita tidak sah. Dengan demikian berthawaf mengelilingi Ka’bah sekaligus berarti turut mengelilingi Hijir Isma’il. Lalu apakah Hijir Ismail itu?

Dari beberap sumber yang kubaca, Hijir Isma’il adalah tempat dimana Nabi Isma’il diasuh semasa kecil, dan yang lebih penting lagi, tempat dimana Siti Hajar (ibunda Isma’il) dimakamkan. Dengan demikian hanya ada satu manusia yang makamnya ikut kita thawafi ketika mengelilingi Ka’bah. Satu-satunya manusia itu adalah Siti Hajar, seorang perempuan, budak, dan berkulit hitam. Allah telah mengutamakan Hijir Isma’il bahkan di atas Maqam Ibrahim sendiri. Hanya seorang perempuan budak berkulit hitam, lalu mengapa?

Allah telah menjungkirbalikkan konsep gender, derajad manusia dan prasangka rasial di rumahNya yang suci. Penghormatan terhadap Siti Hajar, budak perempuan yang berkulit hitam, menegaskan bahwa semua manusia adalah sama sederajad dan selayaknya saling bersaudara.

Persaudaraan dan empati terhadap sesama menurutku merupakan salah satu pelajaran paling penting dari haji. Dari seluruh rangkaian ibadah haji berkali-kali kita diingatkan oleh spirit persaudaraan dan empati, langsung maupun tidak langsung, dan kerap kali ini menimbulkan dilema tersendiri.

Bukan kebetulan bahwa sebagian besar jamaah haji telah berusia senja. Mereka lemah, akrab dengan penyakit, kepanikan dan kebingungan di tengah ramai manusia jamaah haji. Kita dikelilingi oleh manusia-manusia renta yang butuh pertolongan.

Maka manakah yang lebih utama; mengejar kesempatan mencium hajar aswad atau merawat jamaah renta yang sakit di sebelah kita? Memburu kesempatan berdoa di Raudlah dan Multazam atau menolong jamaah renta yang tersesat kebingunga? Dilema semacam ini terus hadir di depan kita. Jelas bahwa semua jamaah ingin ibadahnya sesempurna mungkin selama di tanah suci, namun menegakkan persaudaraan dan meneguhkan empati kepada sesama juga merupakan intisari dari haji.

Ada sebuah riwayat (yang aku lupa membacanya dimana) yang menyebutkan bahwa pada salah satu musim haji, Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa tahun itu orang yang hajinya paling diterima Allah adalah si fulan, yang kebetulan ibadahnya kurang maksimal karena ia berhaji sambil menggendong ibunya yang sakit. Wallahu A’lam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

HAJI: Tentang Kesucian

Suci itu bersih, suci itu wangi, bebas dari hadast besar maupun kecil. Mungkin itu yang terlintas di kepala kita.

Tapi sejak pertama kali menginjakkan kaki di Masjidil Haram, Makkah, aku terpaksa harus menegoisasi sebagian dari makna kesucian di atas.

Di masjid paling suci itu, tempat dimana kita dijanjikan akan memperoleh pahala 100.000 kali lipat jika shalat disana (dibanding shalat-shalat di masjid manapun di muka bumi), sangat susah menjaga kesucian dari hadast kecil. Manusia, lelaki-perempuan, hilir mudik tak beraturan di dalam masjid. Semakin mendekati Ka’bah, di pelatarannya, tidak ada tempat untuk membatasi lelaki dan perempuan.

Akibatnya sentuhan kulit lelaki-perempuan menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Jika menggunakan konsep kesucian konvensional, entah berapa kali kita harus berwudlu akibat sentuhan tersebut. Nyatanya semuanya ditoleransi.

Allah telah mentakdirkan rumahNya menjadi tempat berkumpul lelaki-perempuan tanpa terkecuali. Semuanya sama di mata Allah. Aku justru merasakan betapa tempat yang paling suci ini merupakan tempat paling egaliter bagi lelaki dan perempuan dibandingkan semua masjid di muka bumi ini. Ketika berthawaf mengelilingi Ka’bah dalam balutan kain ihram, semua lelaki dilarang memakai penutup kepala dan semua perempuan dilarang mengenakan penutup muka. Di tempat yang paling suci ini. Maka siapakah yang menyuruh perempuan mengenakan cadar? Allah atau manusia?.

Konsep kesucian semakin jungkir balik ketika ibadah haji mencapai puncaknya, di Arafah dan Mina.

Di Arafah, dimana merupakan intisari dari haji, tempat berdoa paling makbul dari semua tempat makbul, tempat yang langitnya dipenuhi malaikat pada hari wukuf, adalah antitesis dari konsep kesucian. Dalam balutan pakaian ihram di bawah terik mentari, gerah, cucuran keringat, bau manusia bercampur aduk, dilarang keras memakai wewangian, kamar mandi dan toilet pun sangat terbatas.

Di Arafah, manusia diminta merasakan kondisi paling alamiahnya, mendekati kondisi mayat (bangkai) berkafan kain ihram tak berjahit. Namun itulah puncak haji, puncak daripada "kesucian". Dan ternyata suci disini adalah berkeringat dan berbau.

Konon ketika Rasulullah pertama kali mengenalkan wukuf di Arafah dan bermalam di Mina sebagai puncak haji, meninggalkan kota Makkah dan Ka’bahnya, orang-orang kafir di Makkah menganggap itu tidak masuk akal; mengapa puncak haji justru dengan meninggalkan tanah suci?

Wahai mari kita pikirkan itu. Apa itu kesucian? Dimana tempatnya? Masih pantaskah kita merasa diri paling suci?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

HAJI: Tentang Motif

Menyempurnakan rukun Islam; Inilah jawaban paling mudah saat ditanya apa tujuan kita berhaji ke tanah suci. Mengingatkan kita pada rumus kuliner 4 sehat 5 sempurna, setelah makan nasi, lauk, sayur, buah, minumlah susu sebagai penyempurna. Setelah Syahadat, Shalat, Puasa, dan Zakat, maka berhajilah ke tanah suci.

Tetapi jawaban ini dapat mendorong kita ke arah konsep umum yang mudah menggelinding menjadi ritual penggugur kewajiban. Betapa banyak ibadah kita yang hanya menjadi penggugur kewajiban belaka. Yang penting saya sudah shalat maka telah gugurlah kewajiban saya sebagai muslim, yang penting sudah membayar zakat, yang penting sudah haji dst dsb

Tentu saja itu tidak salah dan tulisan ini bukan tentang salah dan benar. Dengan demikian tidak salah pula jika kita hendak mendalami makna ibadah yang hendak kita jalani, apalagi jika ibadah itu bergelar: penyempurna rukun Islam.

Ketika sadar akan berangkat haji aku dihadapkan pada pertanyaan yang sama. Aku merenung memikirkannya; apa tujuanku berhaji? Sejujurnya belum pernah aku membayangkan akan berhaji dalam waktu dekat, bukan prioritas buatku. Dalam beberapa kesempatan—dalam suasana penuh arogansi—aku pernah sesumbar: jika ada rezeki lebih maka Eropa-lah tujuanku, bukan Makkah. Allahummaghfirli.

Nyatanya aku pasti ke Makkah dan aku harus temukan jawaban itu. Maka terpaksa aku harus memikirkan kembali jalan kehidupanku; tentang iman yang timbul tenggelam, tentang hati yang berbolak-balik, tentang garis nasib yang tidak jelas, tentang rejeki yang kusut masai, tentang jodoh yang kian samar, tentang dosa-dosa yang menggunung, tentang stagnasi hidup, tentang semua derita, tentang semua keluh kesah dan kekalahan.

Dan aku tiba pada kesimpulan yang sedikit arogan. Aku berharap hajiku ini akan merubahku menjadi manusia baru, fase baru, tujuan baru, aku yang baru dst… bahkan terhadap sejumlah kawan yang bertanya apakah aku akan nyaleg pada pemilu 2014 kujawab: Tunggu setelah aku selesai haji!.

Lalu tibalah aku di tanah suci. Sedikit berdebar ketika pertama kali melihat pucuk menara Masjid Nabawi di Madinah, bergegas sowan menjumpainya.

Hari demi hari berlalu namun aku tidak menemukan momentum menggelegar sesuai tujuan yang telah kucanangkan. Tidak ada linangan air mata di tengah doa, tak ada degupan jantung yang sesakkan dada. Bertambah hari semua ritual menjadi makin biasa. Tunggulah hingga di Makkah, demikian seruku. Namun ketika sampai di kota paling suci itu motivasi beribadah justru makin kendur.

Dan aku menemukan betapa tujuan awalku berhaji menjadi semakin mewah dan menjauh dariku. Aku harus merevisinya, demikian kataku. Harus kutemukan tujuan baru dalam berhaji ini. Maka kususutkan tujuan itu menjadi: Mencari pengampunan dari dosa-dosaku yang menggunung. Lalu kuperbanyak istighfar, memikirkan dosa-dosa tersebut untuk memancing penyesalan. Kuhabiskan waktu yang panjang untuk beristighfar.

Namun, kembali lagi aku tidak pernah dihinggapi momentum yang merenggut jiwa. Seperti doa-doa kosong yang kita lempar ke langit dan hilang di ketinggian. Saat di Mina, seseorang berguman di dekatku: "sungguh luar biasa orang yang tidak menangis menyesali dosa-dosanya saat di Arafah…" saya menjawab dalam hati: "orang itu ada di dekatmu sekarang!".

Rasa penasaran mendorongku memaksimalkan eksploitasi batin untuk mengharap pengampunan hingga kuputuskan untuk ndeprok I’tikaf di pelataran Ka’bah di ujung malam, menggelar shalat tobat sambil memeras pikiran dan hati. Tetap tak ada air mata. Pikiran justru mengembara kemana-mana. Wahai…jenis apakah aku ini? Setinggi inikah hatiku???

Berbekal nasihat seorang kawan yang menyebut tentang “birrul walidain”, akhirnya aku harus menyerah hingga ke titik minimalis; haji ini semata-mata adalah untuk ibuku. Membantu ibuku menyempurnakan hajinya, menyemangati beliau, memastikan kesehatan beliau. Dengan itu aku berharap ikut kecipratan pahala dari ibuku. Aku juga berusaha meringankan kaki dan tangan untuk membantu jamaah lain yang tersesat atau kebingungan semata-mata agar ada doanya yang dibagikan kepadaku. Juga sebanyak mungkin menawari mendokan teman-teman di tanah air, siapa tahu ada yang makbul dan aku mendapatkan sedikit bagian. Hanya itulah yang aku sanggup lakukan disana.

Sesaat setelah kembali ke tanah air, seseorang mengatakan kepadaku satu kalimat: "salah satu dosa terbesar orang yang berhaji adalah tidak mempercayai bahwa doanya dikabulkan". Entah apa maksudnya mengatakan itu kepadaku, namun kalimat itu bagaikan anak panah yang meluncur deras ke hatiku.Jlebb!

Semoga benar kata Rumi, andai ibadahmu palsu belaka tetaplah persembahkan mata uang palsu itu kepada Allah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hutang

Tiba-tiba aku merasa memiliki hutang cukup banyak pada masyarakat, kepada orang-orang yang kukenal dan mengenalku…

kepada orang-orang yang seharusnya aku bisa lebih banyak memberi senyuman atas kehadiran mereka di dekatku.

Kepada orang-orang yang semestinya aku mengucapkan lebih banyak terimakasih atas bantuannya selama ini.

Kepada orang-orang yang semestinya aku meminta maaf telah kubuka aibnya tanpa mereka membalasnya.

Kepada orang-orang yang semestinya aku meminta maaf karena terus kucurigai ketulusannya.

Kepada orang-orang yang semestinya aku bisa bersikap lebih ramah karena kuanggap mengganggu padahal belum tentu.

Kepada orang-orang yang semestinya bisa lebih kuhangatkan hatinya setelah mereka berusaha menyenangkanku dan menopangku

Kepada orang-orang yang semestinya aku bisa lebih peduli setelah mereka menunjukkan kepedulian terhadapku.

Kepada orang-orang yang aku merasa risih/ilfil bila ia di dekatku setelah ia banyak menolongku.

Kepada orang-orang yang tanpa sengaja kusakiti hatinya.

Kepada orang-orang yang meminta banyak padahal aku tak punya.

Kepada orang-orang yang kuperlakukan kurang adil hanya karena aku kurang menyukainya.

Kepada orang-orang yang kuremehkan potensinya dan kurang kuhargai usahanya

Kepada orang-orang yang kuabaikan nasihatnya

Kepada orang-orang yang aku lupakan

Kepada orang-orang yang aku selalu berpura-pura seperti tak ada masalah yang harus diselesaikan

Kepada orang-orang yang aku tidak bisa jujur menyampaikan perasaanku

Kepada orang-orang yang perkataan jujurnya menyinggungku



-daftar ini masih panjang dan akan lebih panjang-

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tentang Kalah



Menerima kekalahan itu berat, sebab semua orang menginginkan tropy kemenangan untuk dipamerkan. Menerima kekalahan itu berat, sebab masyarakat hanya peduli siapa yang menang. Menerima kekalahan itu berat, sebab hanya yang menang yang berhak menulis sejarah. Menerima kekalahan itu berat, sebab salah-salah bisa menghina diri sendiri atas kekalahan tersebut. Menerima kekalahan itu berat, sebab bayang-bayang kekalahan bisa menghantui kita seumur hidup.

Menerima kekalahan itu tak mudah, lebih mudah membayangkan kemenangan palsu sebagai hiburan. Menerima kekalahan itu tak mudah, lebih mudah merekayasa seandainya-seandainya. Menerima kekalahan itu tak mudah, lebih mudah menyalahkan orang lain sebagai penyebab kekalahan. Menerima kekalahan itu tak mudah, lebih mudah bersembunyi menghindari perjumpaan dengan si pemenang. Menerima kekalahan itu tak mudah, lebih mudah terus mencari celah agar bisa menang entah kapan.



Tetapi temans..

Siapakah yang sesungguhnya lebih kuat dari mereka yang mampu mengikhlaskan kekalahannya demi meraih kembali keutuhan dirinya?

Siapakah yang sesungguhnya lebih kuat dari mereka yang mau melihat kekalahan sebagai cermin untuk menyusun kembali hatinya?

Siapakah yang sesungguhnya lebih kuat dari mereka yang mampu tersenyum menatap kekalahannya sama halnya ketika ia mensyukuri sebuah kemenangan dengan wajar?



Tentu saja itu berat dan tidak mudah..

Hanya keyakinan dan niat baik dan kerendah hatian dan sebuah ihtiar untuk mengumpulkan kembali semua yang berceceran.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Setelah Sebulan Berlalu

Catatan:

10 menit lalu aku menerima sms yang memberitakan wafatnya pak lek/om, adiknya ibu, yang rumahnya berjarak hanya 50 meter dari rumah bapak. Artinya tepat sebulan setelah wafatnya bapak (selisih 6 menit). Allahummaghfirlahu.....

Sebulan ini nampaknya aku dipaksa akrab dengan kematian-kematian, sesuatu yang sebelumnya nyaris tak menyentuh hati. di grup-grup BB yang kuikuti hampir setiap hari ada berita duka. Namun kematian orang lain kerap tak memberi pengaruh apa-apa, kecuali ucapan spontan turut bela sungkawa, secuil empati.

Dulu di sekolah dasar ada ungkapan: kematian adalah salah satu contoh kiamat kecil, utamanya bagi yang mengalaminya dan juga dampak gempanya ke kerabat dekat. Aku, dengan ekspresi minimalis, turut merasakan terjangan itu ketika bapak dipanggil.

Sebulan ini sekurang-kurangnya aku bermimpi ketemu bapak 3 kali. dua kali hanya sekelebat yang tidak sempat bertukar sapa, yang terakhir terasa lebih dekat dan kusempatkan meminta maaf. Mungkin ini hanya sedikit reaksiku atas sesal karena tak bisa menjumpainya di kala masih sadar. Tak ada wasiat, tak ada pesan, hanya linangan air matanya, yang entah kenapa sering tiba-tiba hadir di kepalaku hingga saat ini.

Sebulan ini juga, ingatan akan wajahnya kerap muncul ketika aku hendak melakukan hal-hal yang kurang patut, atau sedikit kontras dengan kesahajaannya. Seolah diingatkan: "bapakmu nggak seperti itu le..." Tapi aku jujur kadang itu mempan, kadang tidak.

Makin kesini aku seperti terjebak dalam satu kontradiksi. di satu sisi semakin kurasakan "bapak" dalam diriku, banyak sifatnya kuwarisi, tetapi di sisi lain aku seperti ingin tunjukkan bahwa aku tak seperti dia. Walau aku tak paham seluruhnya, apa gunanya itu.

Tapi hidup adalah perjalanan kontradiksi. Tugasku hanya mencari solusi dan keseimbangan. Bapak tetap "sesuatu" yang mengingatkanku akan akar kehidupanku. Namun aku memiliki pohonku sendiri.

Semoga Bapak disana tahu bahwa aku memikirkannya, merenungkannya, dan (kadang) mendoakannya. Bukan demi Bapak, tapi demi aku sendiri, perjalananku. dan tentunya juga demi emakku yang... harus kujaga hatinya.

Bapak... Maafkan semua kesalahanku.

Pak Lek Fadloli, semoga jalanmu diperlebar.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BAPAK

Tepat 24 jam yang lalu...

Saat dua sentakan lembut nafas terakhirmu. Belum pernah kusaksikan Naza' sebelumnya, apalagi terjadi tepat di depan mataku. Kematian seperti puncak adegan yang merampas seluruh emosi.

Sekejap kemudian semua gerakan pun berhenti; tak ada sengal nafasmu lagi, tak ada kejang otot lagi. Terimakasih Ya Allah, Kau akhiri hidupnya dengan cepat dan mudah.

Kulepas jemarimu yang mulai melemas, aku harus memberi giliran kerabat yg lain mendekat. Tiba-tiba dua aliran hangat membasahi mataku. Tapi semua isak harus ditahan, banyak tugas sebagai anak lelaki tertua yang harus kukerjakan

Bapakku..., aku tak punya banyak kenangan denganmu. Kita tak pernah dekat, saling menjaga jarak seperti kebanyakan pria Jawa dengan anak lelakinya. Aku bahkan tak pernah betah berbincang lebih dari 5 menit denganmu. Tak ada yg menarik dari ucapanmu kecuali rentetan kisah masa lalu atau nasehat-nasehat garing..

Namun bagiku ada satu keistimewaanmu; keberanianmu menunda semua kenikmatan duniawi hingga kelima anakmu menjadi sarjana. Menunda membeli TV, motor, tak pernah ada kain dan perhiasan untuk ibuku, dan semua macam kenikmatan lain. Jika 70% gajimu harus disisihkan setiap bulan untuk biaya pendidikan anak-anakmu selama hampir 30 tahun. Sungguh tak mudah bagi seorang guru agama SD golongan II melakukannya.

3 hari lalu saat baru sampai di depanmu, terbaring lemah di ranjang rumah sakit, aku terhenyak oleh satu kejutan kecil yang membuat dadaku agak sesak. Kau hanya menyambut kedatanganku dengan linangan air mata tanpa sepatah kata. Bibirmu sudah terlalu lemah untuk mengatakan apapun, bahkan harus kutarik tanganmu agar bisa kucium.

Air mata itu mengundang seribu pertanyaan sekaligus kecemasanku.

Aku takut tak bisa memenuhi janjiku untuk membawamu ke tanah suci tahun ini.

Dan... Seperti itulah yang terjadi. Kini tak mungkin lagi membawamu kesana..

Setahun lalu, ketika kuantar kau dan emak mendaftar haji, kau tak memperlihatkan ekspresi apapun, seperti biasanya, apakah bahagia atau tidak... aku tak pernah paham perasaanmu.

Tapi saat kubereskan kamarmu selepas isya tadi, kulihat brosur tuntunan haji dan umrah di atas mejamu, tertindih oleh kacamatamu. Seketika rasa bersalah kembali menyengatku...

Sesungguhnya, janji itulah yang mengeraskan niatku membawamu rujuk ke rumah sakit yang lebih memadai. Kau harus sembuh total sebelum musim haji, demikian tekadku.

Bahkan ketika dokter-dokter cantik itu memberitahuku adanya komplikasi di semua organ-organ vitalmu, aku bersikukuh pada tekadku.

23 jam yang sangat melelahkan di UGD. Tapi tak ada artinya semua kelelahan itu dibanding keinginanku membuatmu cukup sehat untuk berangkat haji. Kuberanikan diri menemanimu di ruang operasi, menggenggam jemari kirimu saat jarum-jarum panjang menembus lengan kananmu, mendorong selang kecil menuju dada melewati jaringan bahu kanan. Dokter paling terampil pun harus mencoba 4 kali hingga berhasil, dan 4 kali pula harus kukuatkan hati mendengar raung kesakitanmu.

Bahkan kuberanikan diri menandatangani ijin operasi yang lebih berani lagi... yang alhamdulillah akhirnya tidak jadi dilaksanakan karena kondisimu makin tidak stabil.

Sejurus kemudian, ketika asupan oksigen ke otak makin menipis dan darah kotor yang gagal disaring ginjal yang sudah rusak telah menyebar ke seluruh bagian tubuhmu yang renta, kesakitanmu kau ekspresikan dengan rontaan kuat dan erangan tangis tanpa air mata.

Masih kubisikkan di telingamu agar kau kuat dan tahan menjalani semua usaha ini, namun di tengah rontaan dan tangismu tiba-tiba kau ucapkan kalimat samar...., kau bilang sudah tak kuat lagi...

Dan seketika semua tekadku pun runtuh...

Aku lemas dan tersadar bahwa semuanya sudah mustahil, ini sudah tak mungkin lagi dilanjutkan..

Yang tersisa hanyalah keinginan untuk membawamu keluar dari ruangan penuh kesakitan itu secepat mungkin. Keluar menuju kematian yang lebih sederhana. Aku tak mau mendengar tangis kesakitanmu lagi, tak mau melihat rontaanmu lagi.

Syukurlah dalam semua ketegangan ini hadir satu sahabat baik yang sangat membantu. Tak bisa kubayangkan bisa menjalaninya sendirian. Terimakasih kawan..

Dan semuanya pun usai. Alhamdulillah sesuai perkiraan dokter, Allah memberimu jalan yang mudah untuk datang kepadaNya.

Alhamdulillah juga telah kuselesaikan semua tugasku; mengiringi kepergianmu dalam genggaman tangan yang erat dan bisikan lafadz-lafadz suci, memandikan jenazahmu dengan kedua tanganku, menyambutmu di liang lahatmu, mengurai tali kafanmu, mengarahkanmu menghadap kiblat.

Lama aku berfikir, merenung.., Meski tak bisa kupenuhi janjiku padamu, Alhamdulillah Allah telah memberiku waktu-waktu paling berharga sepanjang hidupku untuk memberikan penghormatan terakhirku kepadamu.

Aku sadar, kita tak pernah dekat, dan Allah telah mendekatkan kita, bahkan sangat dekat, dalam momen luar biasa ini, walau cuma sekejap.

Aku tak pernah paham misteri linangan air matamu tiga hari lalu, tapi kuanggap itu sebagai tanda mata terbaikmu kepadaku. Akan kukenang seumur hidupku.

Selamat jalan... Bapakku.

Lamongan, 11 Juni 2012, pukul 22:30

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TAIL WAGGING THE UNDERDOG

Ngobrol bersama anak-anak media belakangan ini kian menjurus ke arah keprihatinan yang sama; konglomerasi. Media massa kita hari ini telah berkelompok menjadi grup-grup besar yang dikontrol oleh kurang dari 10 milyarder (bahkan triliuner) pemilik media. Sebut beberapa contoh: MNC grup, Bakrie grup, Kompas grup, Tempo grup, JPNN dst. Setiap grup memiliki televisi, radio, koran, majalah, dan portal internet-nya sendiri. Ini bisnis yang sangat-sangat besar.

Lazimnya dalam core bisnis yang sama, antar grup pasti bersaing ketat demi jumlah pemirsa, oplah, pembaca, atau jumlah pengunjung (untuk internet). Akuisisi satu media oleh grup lain, hak siaran langsung atau tayang eksklusif, saling membajak wartawan dengan iming-iming gaji lebih tinggi menjadi bumbu sehari-hari. Termasuk persaingan ketat dalam konten informasi, siapa yang leading sebagai trendsetter berita dialah yang akan bertahan dan jaya.

Pertemuan lanjutan dengan seorang jurnalis senior yang kerap mengkritik kualitas berita media massa saat di jagad twitter memberi saya dua pencerahan, tidak rugi saya menanggap beliau dari jam 9 malam hingga jam 6 pagi.

Pertama adalah hakikat bisnis media itu sendiri. Orientasi utama media massa adalah laba, sama dengan bisnis-bisnis yang lain.Kedua adalah relasi media massa dengan kehidupan sosial yang lain. Bagian ini menurut saya paling menarik.

Media massa dalam sistem dunia bebas diposisikan sebagai pilar keempat demokrasi. Artinya, dalam posisi itu, media massa “seharusnya” bukan sekadar bussiness as usual. Ada missi sosial di balik media massa mengingat ia menjadi satu-satunya alat komunikasi massa paling massif dan efektif. Ia menjadi medium antar berbagai pihak, kepentingan dan stakeholder di sebuah kawasan.

Dalam konteks normatif sebuah medium adalah bebas kepentingan karena ia hanya berfungsi memediasi. Namun definisi ini hanya das sollen (apa yang seharusnya), bukan das sein (apa yang benar terjadi).

Dalam kenyataan bahkan nyaris tidak pernah ditemui media yang tidak punya kepentingan. Hal ini kembali ke hakikat awal media sebagai sebuah bisnis yang harus meraih laba. Persaingan mendorong media-media tidak hanya menyiarkan berita (news broadcasting) tetapi bila perlu membuat berita (news making). Terdapat perbedaan signifikan antara keduanya.

Sebuah berita tidak dapat menyiarkan dirinya sendiri, ia perlu diberitakan oleh awak media. Dari sinilah kepentingan itu berawal. Ketika memilih dan meramu sebuah berita menyusup di dalamnya perspektif awak media sekaligus kepentingan pemilik media.

Dalam memilih berita mana yang perlu diberitakan dan bagaimana disajikan untuk publik, awak media perlu melakukan framing, pembingkaian berita sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan empunya. Tanpa framing berita bukanlah berita, hanya semacam pengumuman jadwal ronda di pos hansip.

Lebih jauh lagi media dapat membuat agenda setting, penciptaan latar dan reasoning sehingga hanya kebenaran media yang akan menjadi kebenaran publik. Benar-salah, baik-buruk bagi masyarakat adalah apa yang telah ditentukan oleh media. Media beraksi massa mengamini.

Sialnya, (lagi-lagi), kekuasaan politik dan ekonomi di sebuah kawasan merupakan dua matra terpenting yang mempengaruhi sistem sosial dan dengan demikian memaksa media massa bergulat serius, sebagian besar tunduk dan hanya sejumlah kecil yang bertahan independen. Parahnya, (lagi-lagi-lagi), para pemilik media sekaligus merupakan figur-figur terpenting dalam sistem kekuasaan politik dan ekonomi. KLOP SUDAH.

Sang senior kemudian menyarankan saya menonton film lama berjudul Wag The Dog (1997), berkisah tentang bagaimana para spin doctors menggunakan jaringan media massa untuk menyiarkan kebohongan, menghancurkan lawan, atau mengangkat derajad seorang public figure. Sebuah black comedy satiris yang cukup mencerahkan walaupun menyiksa saya (karena tanpa subtitle Indonesia).

Film ini diangkat dari novel berjudul American Hero (1993) karya Larry Beinhart. Kisah aslinya bercerita tentang bagaimana Presiden George H.W Bush (Bush senior) menciptakan fake war (Perang Teluk) hanya demi terpilih kembali pada masa jabatan periode kedua. Namun dalam versi film kisahnya diubah tentang seorang incumbent Presiden AS yang terjebak skandal seks dengan seorang remaja putri hanya 2 minggu sebelum Pilpres. Dedengkot spin doctors Conrad Brean, diperankan Robert DeNiro, mati-matian memeras otak untuk mengalihkan isu skandal sex dengan menciptakan berita palsu serangan teroris di Albania, dibantu produser Hollywood kenamaan Stanley Motss, diperankan Dustin Hoffman. Motss membuat film pendek palsu tentang teroris Albania bahkan menyiapkan lagu khusus untuk menegaskan tagline.

Ketika seorang staf kepresidenan serius bertanya: “Mengapa Albania?” DeNiro dengan enteng menjawab: “Mengapa tidak? Kita tidak tahu apa itu Albania dan semakin banyak masyarakat yang tidak tahu tentang negara Albania akan semakin baik efek(berita)nya”. Walhasil melalui jejaring luas media, berita palsu itu dikonsumsi masyarakat sebagai kebenaran tanpa banyak tanya.

Tagline di awal film cukup menginspirasi: Why does a dog wag its tail? Because a dog is smarter than its tail. If the tail were smarter, the tail would wag the dog.

Frasa “Tail wagging the dog”, merupakan idiom bahasa Inggris lama, berarti: a minor or secondary part of something controlling the whole (mengutip ngawur dari wikipedia.org, maksudnya bahagian kecil yang mengontrol keseluruhan, seperti para spin doctors dan media massa yang mengontrol opini publik).

Mari kita kembali ke Indonesia…..

Semua yang dikhawatirkan Larry Beinhart tersaji lengkap di meja makan bernama Indonesia. Para juragan media yang sekaligus elit politik dan ekonomi (lihat seriusnya Surya Paloh pidato bermenit-menit penuh busa di Metro-TV atau golkar lagi golkar lagi di TV kuning); media massa yang kelewat bebas (sidang pengadilan pun bisa disiarkan live, padahal di AS itu diharamkan). Paling celaka adalah politisi yang tak punya media, seperti Anas Urbaningrum yang harus rela menjadi bulan-bulanan kebrutalan media.

Masalahnya adalah, di tengah bursa sengit kepentingan jelang laga 2014, dimana setiap oligark saling bunuh guna memastikan panggung 2014 terbuka lebar untuk mereka dan bersih dari para pesaing, media massa menjadi pisau paling ampuh untuk menusuk, menjungkalan, dan menguliti lawan. Bukan kebenaran tetapi kepentingan yang bekerja.

Masalahnya lagi (lagi-lagi masalah), dimana kita bisa bersembunyi dari serbuan operasi media? Setiap hari televisi menjebak mata dan telinga; koran, majalah, internet mendesak masuk. Pernahkah membayangkan ada 9 dewa mabuk tengah berlomba menggencet kita dari segala penjuru? Mencemari semuanya, termasuk udara yang kita hirup. Dimana kita bisa bersembunyi?

Konon propaganda media pertama kali diperkenalkan Dr. Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi Jerman menjelang dan selama Perang Dunia II. Hanya melalui siaran radio yang terus diulang-ulang Nazi berhasil merubah masyarakat Jerman yang beradab (tapi sedang frustasi) menjadi bangsa pembunuh sadis. Siaran radio yang tanpa henti memenuhi atmosfir perlahan menyusup masuk kepala orang Jerman. Kebohongan yang terus diulang perlahan akan menjadi “kebenaran”, teori ini telah dibuktikan Joseph Goebbles. Hanya dengan radio, belum ada televisi dan internet.

Versi lebih modern terjadi di AS era George W. Bush (Bush junior) melalui sandiwara perang melawan terorisme dan dalih ancaman senjata pemusnah massal yang dilansir media-media mainstream AS. Tuduhan senjata pemunah massal sebagaimana ditudingkan media-media mainstream tidak pernah terbukti keberadaannya, Namun Iraq terlanjur telah luluh lantak akibat rangkaian kebohongan Bush/Media hanya demi terpilihnya kembali George W. Bush dan kenyangnya oligark di sekitarnya.

Kurang terpelajar apa masyarakat AS? Kurang tangguh apa para penantang perang di sana? Tetap saja menjadi sasaran empuk para spin doctors penguasa opini media. Media Massa adalah “Media mencipta kebenaran dan Massa mengamininya”.

Bagaimana dengan kita? Para underDOG ini?

Yang merasa well informed karena menonton lawyers club di TV kuning, pembaca setia detik.com, atau mengikuti timeline @TrioMacan2000;

Yang merasa pintar tanpa sadar kepala kita sedang dipahat oleh 9 dewa mabuk oligark media.

Tail wagging the underDOG absolutely.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Batas?

Ancaman terdekat dari iman seorang ahli ibadah berasal dari dirinya sendiri.
Ketika seorang mukmin tergopoh bangun menuju pancuran mengambil air wudlu atau bermimpi buruk akibat lupa shalat Isya', terselip rasa aman berada dalam lingkaran kesucian yang entah muncul dari mana. Lingkaran yang adakalanya, bahkan seringkali, berganti wujud menjadi lingkaran kepongahan si naif yang merasa sok suci.

Dalam bentuk sedikit ekstrim, seseorang yang merasa dilingkari kesucian dengan mudah membagi dunia antara kami dan mereka, benar dan jahat, iman dan kuffar. Saya sebut ini upaya memperkosa dunia. Padahal dunia ini lebih dari dua warna. Meskipun dunia tetap akan bergerak tanpa peduli bagaimana cara seseorang memikirkannya. Dalam bentuk lebih ekstrim lagi adalah FPI. Tetapi sebagian besar kita adalah FPI-FPI kecil..

Seseorang berucap: bagaimana kamu bisa demikian meyakini imanmu jika kamu hanya berdiri di zona aman? Membenci maksiat tanpa pernah tahu bagaimana wujud maksiat.. Berpuasa Ramadlan di tengah mayoritas muslim yang menuntut dihormati oleh minoritas yang tak puasa. Saya barangkali lebih acungi jempol minoritas muslim yang tetap berpuasa di tengah lautan nasrani, tanpa harus memasang spanduk: "HORMATILAH ORANG YANG BERPUASA" di depan masjid. Atau pada OB-OB di tempat Spa yang tetap puasa di sela-sela membersihkan lendir yang ditinggalkan para tamu.

Masjid di sekitar komplek tempat tinggal saya setiap sore giat mengganggu telinga melalui speakernya yang sudah rusak. Tidak cukup dengan azan masih ditambahi berbagai nyanyian arab puji-pujian. Majelis Zikir yang pengikutnya memenuhi jalanan, berkuasa melebihi polisi. Tidakkah mereka sadar lafadz zikir dari 1.000 mulut bisa dimentalkan oleh gerutu 5.000 mulut pengguna jalan...

Semua di atas hanya contoh-contoh agak ekstrim yang barangkali jauh dari kita. Anda bisa bilang: saya tidak begitu kok, itu mah teman saya dst...

Tetapi hati dan pikiran kita tidak jauh berbeda dari kepalan tinju dan bambu runcing FPI. Setiap kita merasa aman dalam lingkaran imajiner, menjauhi dan membenci hal-hal buruk yang kita tidak pernah tahu wujudnya, menghindari dan membenci orang-orang bermasalah dan para pendosa (menurut kita), kita ikut memperkosa dunia!

Rumi mengingatkan kita; Tuhan dan setan berbaur di dunia hingga akhir zaman. Atas nama apa kita hendak menyekatnya?
Bukankah lebih indah melihat warna-warni dunia apa adanya... tanpa memaksanya menjadi dua warna saja, hitam dan putih. Bukankah lebih indah menjalani kehidupan yang menurut kita baik tanpa harus menista yang kita anggap buruk... Bukankah ini semua hanya gradasi warna...dari tak terhingga menuju tak terhingga yang kita tak akan pernah tahu dimana kita berdiri.

Sederhananya saya lebih suka mereka yang tidak membatasi dirinya, bermurah hati terhadap semua warna tanpa hilang kilau putihnya, berhenti membenci, memberi kenyamanan kepada semua orang, membangkitkan elan spiritual tanpa menggurui, tidak menghakimi siapapun, mengajak tanpa memaksa, mendorong tanpa tekanan. Tersenyum hingga akhir masa. Seindah melihat gadis berjilbab yang masih sisakan keseksiannya, atau bertampilan trendy bahkan seksi tanpa lupa shalat (Sally namanya :D).

Kepada semua yang tersinggung maafkan saya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS