Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

HAJI: Tentang Kesucian

Suci itu bersih, suci itu wangi, bebas dari hadast besar maupun kecil. Mungkin itu yang terlintas di kepala kita.

Tapi sejak pertama kali menginjakkan kaki di Masjidil Haram, Makkah, aku terpaksa harus menegoisasi sebagian dari makna kesucian di atas.

Di masjid paling suci itu, tempat dimana kita dijanjikan akan memperoleh pahala 100.000 kali lipat jika shalat disana (dibanding shalat-shalat di masjid manapun di muka bumi), sangat susah menjaga kesucian dari hadast kecil. Manusia, lelaki-perempuan, hilir mudik tak beraturan di dalam masjid. Semakin mendekati Ka’bah, di pelatarannya, tidak ada tempat untuk membatasi lelaki dan perempuan.

Akibatnya sentuhan kulit lelaki-perempuan menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Jika menggunakan konsep kesucian konvensional, entah berapa kali kita harus berwudlu akibat sentuhan tersebut. Nyatanya semuanya ditoleransi.

Allah telah mentakdirkan rumahNya menjadi tempat berkumpul lelaki-perempuan tanpa terkecuali. Semuanya sama di mata Allah. Aku justru merasakan betapa tempat yang paling suci ini merupakan tempat paling egaliter bagi lelaki dan perempuan dibandingkan semua masjid di muka bumi ini. Ketika berthawaf mengelilingi Ka’bah dalam balutan kain ihram, semua lelaki dilarang memakai penutup kepala dan semua perempuan dilarang mengenakan penutup muka. Di tempat yang paling suci ini. Maka siapakah yang menyuruh perempuan mengenakan cadar? Allah atau manusia?.

Konsep kesucian semakin jungkir balik ketika ibadah haji mencapai puncaknya, di Arafah dan Mina.

Di Arafah, dimana merupakan intisari dari haji, tempat berdoa paling makbul dari semua tempat makbul, tempat yang langitnya dipenuhi malaikat pada hari wukuf, adalah antitesis dari konsep kesucian. Dalam balutan pakaian ihram di bawah terik mentari, gerah, cucuran keringat, bau manusia bercampur aduk, dilarang keras memakai wewangian, kamar mandi dan toilet pun sangat terbatas.

Di Arafah, manusia diminta merasakan kondisi paling alamiahnya, mendekati kondisi mayat (bangkai) berkafan kain ihram tak berjahit. Namun itulah puncak haji, puncak daripada "kesucian". Dan ternyata suci disini adalah berkeringat dan berbau.

Konon ketika Rasulullah pertama kali mengenalkan wukuf di Arafah dan bermalam di Mina sebagai puncak haji, meninggalkan kota Makkah dan Ka’bahnya, orang-orang kafir di Makkah menganggap itu tidak masuk akal; mengapa puncak haji justru dengan meninggalkan tanah suci?

Wahai mari kita pikirkan itu. Apa itu kesucian? Dimana tempatnya? Masih pantaskah kita merasa diri paling suci?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: