Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Hutang

Tiba-tiba aku merasa memiliki hutang cukup banyak pada masyarakat, kepada orang-orang yang kukenal dan mengenalku…

kepada orang-orang yang seharusnya aku bisa lebih banyak memberi senyuman atas kehadiran mereka di dekatku.

Kepada orang-orang yang semestinya aku mengucapkan lebih banyak terimakasih atas bantuannya selama ini.

Kepada orang-orang yang semestinya aku meminta maaf telah kubuka aibnya tanpa mereka membalasnya.

Kepada orang-orang yang semestinya aku meminta maaf karena terus kucurigai ketulusannya.

Kepada orang-orang yang semestinya aku bisa bersikap lebih ramah karena kuanggap mengganggu padahal belum tentu.

Kepada orang-orang yang semestinya bisa lebih kuhangatkan hatinya setelah mereka berusaha menyenangkanku dan menopangku

Kepada orang-orang yang semestinya aku bisa lebih peduli setelah mereka menunjukkan kepedulian terhadapku.

Kepada orang-orang yang aku merasa risih/ilfil bila ia di dekatku setelah ia banyak menolongku.

Kepada orang-orang yang tanpa sengaja kusakiti hatinya.

Kepada orang-orang yang meminta banyak padahal aku tak punya.

Kepada orang-orang yang kuperlakukan kurang adil hanya karena aku kurang menyukainya.

Kepada orang-orang yang kuremehkan potensinya dan kurang kuhargai usahanya

Kepada orang-orang yang kuabaikan nasihatnya

Kepada orang-orang yang aku lupakan

Kepada orang-orang yang aku selalu berpura-pura seperti tak ada masalah yang harus diselesaikan

Kepada orang-orang yang aku tidak bisa jujur menyampaikan perasaanku

Kepada orang-orang yang perkataan jujurnya menyinggungku



-daftar ini masih panjang dan akan lebih panjang-

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tentang Kalah



Menerima kekalahan itu berat, sebab semua orang menginginkan tropy kemenangan untuk dipamerkan. Menerima kekalahan itu berat, sebab masyarakat hanya peduli siapa yang menang. Menerima kekalahan itu berat, sebab hanya yang menang yang berhak menulis sejarah. Menerima kekalahan itu berat, sebab salah-salah bisa menghina diri sendiri atas kekalahan tersebut. Menerima kekalahan itu berat, sebab bayang-bayang kekalahan bisa menghantui kita seumur hidup.

Menerima kekalahan itu tak mudah, lebih mudah membayangkan kemenangan palsu sebagai hiburan. Menerima kekalahan itu tak mudah, lebih mudah merekayasa seandainya-seandainya. Menerima kekalahan itu tak mudah, lebih mudah menyalahkan orang lain sebagai penyebab kekalahan. Menerima kekalahan itu tak mudah, lebih mudah bersembunyi menghindari perjumpaan dengan si pemenang. Menerima kekalahan itu tak mudah, lebih mudah terus mencari celah agar bisa menang entah kapan.



Tetapi temans..

Siapakah yang sesungguhnya lebih kuat dari mereka yang mampu mengikhlaskan kekalahannya demi meraih kembali keutuhan dirinya?

Siapakah yang sesungguhnya lebih kuat dari mereka yang mau melihat kekalahan sebagai cermin untuk menyusun kembali hatinya?

Siapakah yang sesungguhnya lebih kuat dari mereka yang mampu tersenyum menatap kekalahannya sama halnya ketika ia mensyukuri sebuah kemenangan dengan wajar?



Tentu saja itu berat dan tidak mudah..

Hanya keyakinan dan niat baik dan kerendah hatian dan sebuah ihtiar untuk mengumpulkan kembali semua yang berceceran.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Setelah Sebulan Berlalu

Catatan:

10 menit lalu aku menerima sms yang memberitakan wafatnya pak lek/om, adiknya ibu, yang rumahnya berjarak hanya 50 meter dari rumah bapak. Artinya tepat sebulan setelah wafatnya bapak (selisih 6 menit). Allahummaghfirlahu.....

Sebulan ini nampaknya aku dipaksa akrab dengan kematian-kematian, sesuatu yang sebelumnya nyaris tak menyentuh hati. di grup-grup BB yang kuikuti hampir setiap hari ada berita duka. Namun kematian orang lain kerap tak memberi pengaruh apa-apa, kecuali ucapan spontan turut bela sungkawa, secuil empati.

Dulu di sekolah dasar ada ungkapan: kematian adalah salah satu contoh kiamat kecil, utamanya bagi yang mengalaminya dan juga dampak gempanya ke kerabat dekat. Aku, dengan ekspresi minimalis, turut merasakan terjangan itu ketika bapak dipanggil.

Sebulan ini sekurang-kurangnya aku bermimpi ketemu bapak 3 kali. dua kali hanya sekelebat yang tidak sempat bertukar sapa, yang terakhir terasa lebih dekat dan kusempatkan meminta maaf. Mungkin ini hanya sedikit reaksiku atas sesal karena tak bisa menjumpainya di kala masih sadar. Tak ada wasiat, tak ada pesan, hanya linangan air matanya, yang entah kenapa sering tiba-tiba hadir di kepalaku hingga saat ini.

Sebulan ini juga, ingatan akan wajahnya kerap muncul ketika aku hendak melakukan hal-hal yang kurang patut, atau sedikit kontras dengan kesahajaannya. Seolah diingatkan: "bapakmu nggak seperti itu le..." Tapi aku jujur kadang itu mempan, kadang tidak.

Makin kesini aku seperti terjebak dalam satu kontradiksi. di satu sisi semakin kurasakan "bapak" dalam diriku, banyak sifatnya kuwarisi, tetapi di sisi lain aku seperti ingin tunjukkan bahwa aku tak seperti dia. Walau aku tak paham seluruhnya, apa gunanya itu.

Tapi hidup adalah perjalanan kontradiksi. Tugasku hanya mencari solusi dan keseimbangan. Bapak tetap "sesuatu" yang mengingatkanku akan akar kehidupanku. Namun aku memiliki pohonku sendiri.

Semoga Bapak disana tahu bahwa aku memikirkannya, merenungkannya, dan (kadang) mendoakannya. Bukan demi Bapak, tapi demi aku sendiri, perjalananku. dan tentunya juga demi emakku yang... harus kujaga hatinya.

Bapak... Maafkan semua kesalahanku.

Pak Lek Fadloli, semoga jalanmu diperlebar.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS