Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Aku Ingin IA Menghukumku Sekali Lagi..

Seorang teman pernah membuat pernyataan yang isinya kira-kira begini: “Semakin lama seseorang akan semakin minimalis, khususnya ketika harapan dan cita-citanya melayang satu demi satu”. Pada titik akhir yang tersisa adalah: “Jangan merancang harapan, ambil dan manfaatkan saja yang ada dan/atau tersedia… InsyaAllah di kemudian hari kebahagiaan yang kau peroleh tetaplah sama”.

Beberapa orang yang kukenal membuat pernyataan yang senada, khususnya ketika aku kesulitan menjawab kenapa hingga saat ini aku belum bertemu makhluk berjuluk “jodoh”. Asumsinya adalah aku sudah mencari makhluk itu kemana-mana namun tidak menemukannya dan mereka menganggap penyebabnya karena ekpektasiku yang terlalu tinggi yang sudah saatnya diturunkan ke titik dimana aku tidak pantas menawar lagi. Alasan umumnya: Usia.

Dan pernikahan seseorang kemaren kembali menyegarkan ingatanku akan pernyataan-pernyataan di atas, seperti plot film yang diputar mundur. Sebenarnya tidak ada kesan mendalam dari pernikahan tersebut, sekalipun harus kuakui pada suatu waktu yang lalu aku pernah memiliki harapan tertentu terhadapnya. Harapan yang menurutku setengah hati dan kurang jujur.

Sepanjang yang mampu kuingat, aku belum pernah mengejar harapan yang bernama jodoh. Kalau dongeng Yunani kuno mengenal genre kisah komedi (dan memasukkan kisah cinta & jodoh kedalamnya), maka sungaiku telah lama mengalir tanpa komedi. Ajaibnya aku tidak pernah merasa ada yang kurang.

Hingga kemudian sesuatu yang gejalanya mirip dengan penyakit “cinta” menghampiriku beberapa tahun lalu. Ya… aku jatuh cinta dan seketika menemukan lubang besar dalam diriku. Yang pertama hilang adalah rasa nyaman dalam kesendirian, kemudian diikuti oleh rindu yang menuntut, rasa ingin tahu bagai air dijerang mendidih, dan akhirnya ditutup dengan pamrih yang mustahil dicegah lagi. Sejak saat itu aku tidak bisa menemukan sosok lamaku lagi.

Di tengah amuk badai aku berusaha tetap berdiri, memurnikan hasrat, meskipun harus kuakui ternyata aku tidak pernah bisa obyektif terhadapnya. Dan pernyataan cinta tertinggiku hanyalah “Aku menginginkannya..!!!”.

---Hanya Tuhan yang bisa mencintai (makhluknya) dengan sempurna. Meskipun ternyata IA tetap ingin namaNya dikenal.

Lalu kemudian apa?...
Aku tidak tahu. Aku tidak memiliki kesimpulan. Bahkan aku tidak mempercayai apa-apa lagi.. Tetapi menurutku, jika harapan telah terbang ke langit dan kita tenggelam dalam palung laut yang dalam, apakah satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah dengan menyambar apapun yang ada di dekat kita sebagai pegangan? Hingga detik ini aku mengartikan “cara minimalis” sebagai demikian.

Yang aku tahu…
Aku telah jatuh cinta berkali-kali,… pada orang yang sama, dan kenyataan yang sama. Mungkin itu cara Tuhan menghukumku.

Dan saat ini aku hanya ingin IA menghukumku,… sekali lagi..!!


--Kalibata, bukan resolusi 2009--

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS