Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BAPAK

Tepat 24 jam yang lalu...

Saat dua sentakan lembut nafas terakhirmu. Belum pernah kusaksikan Naza' sebelumnya, apalagi terjadi tepat di depan mataku. Kematian seperti puncak adegan yang merampas seluruh emosi.

Sekejap kemudian semua gerakan pun berhenti; tak ada sengal nafasmu lagi, tak ada kejang otot lagi. Terimakasih Ya Allah, Kau akhiri hidupnya dengan cepat dan mudah.

Kulepas jemarimu yang mulai melemas, aku harus memberi giliran kerabat yg lain mendekat. Tiba-tiba dua aliran hangat membasahi mataku. Tapi semua isak harus ditahan, banyak tugas sebagai anak lelaki tertua yang harus kukerjakan

Bapakku..., aku tak punya banyak kenangan denganmu. Kita tak pernah dekat, saling menjaga jarak seperti kebanyakan pria Jawa dengan anak lelakinya. Aku bahkan tak pernah betah berbincang lebih dari 5 menit denganmu. Tak ada yg menarik dari ucapanmu kecuali rentetan kisah masa lalu atau nasehat-nasehat garing..

Namun bagiku ada satu keistimewaanmu; keberanianmu menunda semua kenikmatan duniawi hingga kelima anakmu menjadi sarjana. Menunda membeli TV, motor, tak pernah ada kain dan perhiasan untuk ibuku, dan semua macam kenikmatan lain. Jika 70% gajimu harus disisihkan setiap bulan untuk biaya pendidikan anak-anakmu selama hampir 30 tahun. Sungguh tak mudah bagi seorang guru agama SD golongan II melakukannya.

3 hari lalu saat baru sampai di depanmu, terbaring lemah di ranjang rumah sakit, aku terhenyak oleh satu kejutan kecil yang membuat dadaku agak sesak. Kau hanya menyambut kedatanganku dengan linangan air mata tanpa sepatah kata. Bibirmu sudah terlalu lemah untuk mengatakan apapun, bahkan harus kutarik tanganmu agar bisa kucium.

Air mata itu mengundang seribu pertanyaan sekaligus kecemasanku.

Aku takut tak bisa memenuhi janjiku untuk membawamu ke tanah suci tahun ini.

Dan... Seperti itulah yang terjadi. Kini tak mungkin lagi membawamu kesana..

Setahun lalu, ketika kuantar kau dan emak mendaftar haji, kau tak memperlihatkan ekspresi apapun, seperti biasanya, apakah bahagia atau tidak... aku tak pernah paham perasaanmu.

Tapi saat kubereskan kamarmu selepas isya tadi, kulihat brosur tuntunan haji dan umrah di atas mejamu, tertindih oleh kacamatamu. Seketika rasa bersalah kembali menyengatku...

Sesungguhnya, janji itulah yang mengeraskan niatku membawamu rujuk ke rumah sakit yang lebih memadai. Kau harus sembuh total sebelum musim haji, demikian tekadku.

Bahkan ketika dokter-dokter cantik itu memberitahuku adanya komplikasi di semua organ-organ vitalmu, aku bersikukuh pada tekadku.

23 jam yang sangat melelahkan di UGD. Tapi tak ada artinya semua kelelahan itu dibanding keinginanku membuatmu cukup sehat untuk berangkat haji. Kuberanikan diri menemanimu di ruang operasi, menggenggam jemari kirimu saat jarum-jarum panjang menembus lengan kananmu, mendorong selang kecil menuju dada melewati jaringan bahu kanan. Dokter paling terampil pun harus mencoba 4 kali hingga berhasil, dan 4 kali pula harus kukuatkan hati mendengar raung kesakitanmu.

Bahkan kuberanikan diri menandatangani ijin operasi yang lebih berani lagi... yang alhamdulillah akhirnya tidak jadi dilaksanakan karena kondisimu makin tidak stabil.

Sejurus kemudian, ketika asupan oksigen ke otak makin menipis dan darah kotor yang gagal disaring ginjal yang sudah rusak telah menyebar ke seluruh bagian tubuhmu yang renta, kesakitanmu kau ekspresikan dengan rontaan kuat dan erangan tangis tanpa air mata.

Masih kubisikkan di telingamu agar kau kuat dan tahan menjalani semua usaha ini, namun di tengah rontaan dan tangismu tiba-tiba kau ucapkan kalimat samar...., kau bilang sudah tak kuat lagi...

Dan seketika semua tekadku pun runtuh...

Aku lemas dan tersadar bahwa semuanya sudah mustahil, ini sudah tak mungkin lagi dilanjutkan..

Yang tersisa hanyalah keinginan untuk membawamu keluar dari ruangan penuh kesakitan itu secepat mungkin. Keluar menuju kematian yang lebih sederhana. Aku tak mau mendengar tangis kesakitanmu lagi, tak mau melihat rontaanmu lagi.

Syukurlah dalam semua ketegangan ini hadir satu sahabat baik yang sangat membantu. Tak bisa kubayangkan bisa menjalaninya sendirian. Terimakasih kawan..

Dan semuanya pun usai. Alhamdulillah sesuai perkiraan dokter, Allah memberimu jalan yang mudah untuk datang kepadaNya.

Alhamdulillah juga telah kuselesaikan semua tugasku; mengiringi kepergianmu dalam genggaman tangan yang erat dan bisikan lafadz-lafadz suci, memandikan jenazahmu dengan kedua tanganku, menyambutmu di liang lahatmu, mengurai tali kafanmu, mengarahkanmu menghadap kiblat.

Lama aku berfikir, merenung.., Meski tak bisa kupenuhi janjiku padamu, Alhamdulillah Allah telah memberiku waktu-waktu paling berharga sepanjang hidupku untuk memberikan penghormatan terakhirku kepadamu.

Aku sadar, kita tak pernah dekat, dan Allah telah mendekatkan kita, bahkan sangat dekat, dalam momen luar biasa ini, walau cuma sekejap.

Aku tak pernah paham misteri linangan air matamu tiga hari lalu, tapi kuanggap itu sebagai tanda mata terbaikmu kepadaku. Akan kukenang seumur hidupku.

Selamat jalan... Bapakku.

Lamongan, 11 Juni 2012, pukul 22:30

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS