Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Hati

Seorang teman mengirim sms tepat jam 01:13 wib. Isinya: “Hampir kehabisan akal! Saumpama aku mati ketabrak sepur, tetep nyekaro yo…” (Seumpama aku mati ketabrak kereta api, tetap ziarahi aku ya…). Bergidik aku membacanya, walau tak yakin ia bakal senekad itu.

Aku ingat sebuah petitih yang dulu sering kukutip: “Kehidupan tak pernah peduli apa yang kamu pikir tentangnya”. Dunia terus bergerak dengan caranya sendiri tanpa menghiraukan bagaimana manusia menafsirkannya.

Kadang ada manusia yang tak sadar pongah ketika kehidupannya selalu selaras dengan apa yang dimauinya, menganggap bahwa Ia dan kemauannya lah yang menentukan arah kehidupannya; Sekolah, berprestasi, bekerja di tempat yang baik, berpenghasilan lumayan, menemukan jodoh yang tepat, melahirkan anak-anak yang lucu, makmur, mati, masuk surga…

Namun tidak jarang mereka yang kehidupannya melenceng dari kemauannya; sekolah berprestasi namun gagal dalam pekerjaan, sukses profesi tapi tak kunjung menemukan jodoh yang tepat, sukses segalanya tapi tidak berhasil mendapatkan keturunan, dst, dst…

Aku genap 38 tahun beberapa hari lalu dan masih dalam status yang sama. Kadang perih juga jika setiap ucapan kita, apapun status yang kita pasang di media sosial kemudian direspon miring beberapa teman yang menvonis kita seperti manusia cacat, belum sempurna, karena masih single dan itu dianggap buah dari “kesalahan kita”. Semua yang kita ungkapkan dibelokkannya ke arah itu yang menyebabkan lambat laun kita ikut merasa “bersalah” juga. Padahal seumur-umur aku tak pernah punya kemauan dan cita-cita tetap single di usia 38.

Lain lagi cerita kawan di paragraf pertama. Di mataku ia adalah pria paling beruntung, mendapatkan cinta yang berlimpah dari seorang wanita idamannya namun nyaris tak memiliki dukungan sosial untuk meresmikan hubungan mereka. Egonya menantang dunia, apa daya dunia menghancurkan perlawanannya, hampir kehabisan akal sehat.

Sama seperti aku, dia memuja ego dan cinta. Bedanya, ia mendapatkan cinta yang aku tidak pernah merasakannya. Ternyata semakin tua ego kita ikut menebal. Mengeras bagai batu kali. Ironisnya, jarang dari kita yang menyadarinya. Kita mudah menuduh ke-ego-an orang lain, lupa melihat diri sendiri. Seperti petitih Jawa “menungso amung tansah sawang sinawang”, manusia hanya saling melihat dan menilai orang lain tapi lupa menilai diri sendiri.

Sama seperti dia, aku juga nyaris kehilangan akal. Kadang bahkan terasa seperti tidak memiliki hati lagi. mengalir tanpa tau hendak kemana…. Terdengar kelam.

Tapi aku setuju dengan pendapat banyak orang: hidup ini (seburuk apapun) terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Impianku menjadi lebih sederhana: Hanya ingin berbuat baik untuk orang lain!. Atau seminimalnya jangan sampai apa yang kita lalui dan rasakan justru menimbulkan kesulitan dan kesedihan buat orang lain. Menjaga hati sendiri, menjaga hati orang lain.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS