Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Waafthiru Lil Politik

Sepertinya tahun ini bakal ada dua hari raya idul fitri lagi, satu hari selasa (versi ru’yatul hisab Muhammadiyah), satu hari Rabu (versi pemerintah/ru’yatul hilal NU). Sikap saya dalam hal ini selalu jelas: ikut yang pertama. Bukan karena saya pengikut Md, tapi ambil yang lebih cepat saja.

Dulu, 20 tahun silam, pertama kali menyaksikan dua versi hari raya, saya menganggap hal itu penting dalam kacamata agama. Sesuai dengan petunjuk Rasul “shaumu liru’yatihi waafthiru liru’yatihi/berpuasalah kamu karena melihatnya (bulan) dan berbukalah karena melihat (bulan)”.

Lama kelamaan, dalam penglihatan saya, selain motif keagamaan penyebab hari raya berbeda juga bergantung motif politik, yakni hubungan kedua ormas Islam besar tersebut dengan pemerintah. Mengapa demikian?

Pertama: dulu ketika Gus Dur (NU) menetapkan hari raya lebih dahulu sangat berkaitan dengan sikapnya sebagai oposan terhadap pemerintah saat itu (Orde Baru). Sikap Gus Dur adalah perlawanan kultural terhadap pemerintahan Soeharto.

Mengapa perlawanan kultural terhadap pemerintah menjadi penting? Karena pemerintah menganggap dirinya mengatasi segalanya, berada di atas rakyatnya, pemimpin adalah Bapak, bapake arek-arek. Perlawanan kultural disikapi sebagai “tidak memberi muka” kepada Sang Bapak, dan dicemaskan akan menggerogoti wibawa Sang Bapak.

Hari ini, Muhammadiyah (terutama Dien Syamsuddin) berada dalam posisi yang—meskipun bukan oposan, tetapi—kurang harmonis dengan pemerintah. Menteri Agama bukan dari Muhammadiyah dan beberapa pandangan Dien yang cenderung miring terhadap Pak Beye.

Kedua: jika melulu soal melihat bulan, kenapa kedua ormas itu tidak pernah berbeda dalam menentukan kapan awal Ramadlan. Perbedaan hanya terjadi ketika menentukan satu Syawal. Bukankah itu rembulan yang sama…?

Ketiga: alasan yang menentukan lebaran duluan selalu sama, yakni hilal (bulan baru) telah terlihat meskipun masih sangat rendah (di bawah ufuk), sementara yang lain berpendapat hilal belum cukup tinggi. Perbedaan hanya soal berapa derajat di bawah atau di atas garis ufuk.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Qadla Agung di Jumat Agung

Ajakan seorang Sahabat untuk melakukan Shalat Kiffaroh di Jumat terakhir bulan Ramadlan (Jumat Agung) sedikit menggoda. Meski sejumlah kawan meneriakinya sebagai bid’ah (mengada-adakan hal baru yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah) atau bersumber dari hadis palsu (maudlu’).

Yang dimaksud dengan ajakan Shalat Kiffaroh di Jumat Agung adalah kesempatan emas menebus shalat-shalat kita yang bolong-bolong tak karuan selama setahun terakhir ini (ada yang bilang selama 70 tahun usia kita) dengan menqadlanya di hari Jumat Agung.

Artinya sampeyan cukup shalat beruntun subuh-dluhur-ashar-maghrib-isya, masing-masing sekali, pada siang hari ini (jumat 26 Ramadlan/Agustus) dalam rangka menebus kelalaian shalat sampeyan setahun penuh. Menggoda sekali bukann.. hehe. Terutama buat yang teramat sangat jarang shalat macam saya.

Kembali ke syari’ah, tidak ada ketentuan tentang shalat macam ini. ini Palsu, lemah, bid’ah dst. Itu dalam kacamata syari’ah. Bahkan istilah Jumat Agung untuk menyebut hari jumat terakhir di bulan Ramadlan lebih merupakan ungkapan religio-politics yang diumumkan oleh Imam Khomeini dengan nama Yaumul Quds untuk membantu perjuangan negeri Palestina. Hanya kalangan Syi’i yang memperingati Yaumul Quds pada hari Jumat Agung.

Tapi dari dulu… Saya selalu berpikir bahwa syari’ah lebih mirip tangga dibandingkan garis batas. Tangga menantang kita terus mendaki melampaui anak-anak tangga tertinggi mencari ada apa di atas syari’ah. Sedangkan sebagian besar muslim di sekitar kita lebih suka memperlakukan syari’ah bak wasit dan hakim garis di pertandingan sepak bola. Setiap kali kita melanggar garis peluit ditiup nyaring dan kita dihukum.

Bagaimana menurut sampeyan? Syari'ah itu tangga atau garis batas?

Saya jadi ingat puisi doa karya Maulana Rumi yang berjudul KEMBALI…

Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.
Begitulah caranya!

Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepada-Nya!

Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;
karena Tuhan, dengan rahmat-Nya
akan tetap menerima mata uang palsumu!

Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja.
Begitulah caranya!

Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayolah datang, dan datanglah lagi!
Karena Tuhan telah berfirman:
“Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepada-Ku,
karena Aku-lah jalan itu.”


Melalui Kifarroh ini saya ingin berada di jalan itu, datang lagi dan terus mencoba datang lagi walau kemaren ingkar janji, sambil merangkak bila perlu. Saya yakin Dia akan menerima mata uang palsuku. Meskipun ini hanya prasangka semoga menjadi prasangka yang baik tentangMu. Meskipun masih ada sejuta keraguan semoga berkurang menjadi 999.999 saja.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Darsem Wajah Kita

Kabar kurang sedap, seperti biasa, dihembuskan media massa kita seperti bau napas orang puasa yang malas sikat gigi. Kali ini tentang Darsem. Kalau sampeyan lupa siapa itu Darsem sedikit ingin kubagi disini.

Darsem adalah TKI asal Subang yang divonis mati oleh pengadilan Arab Saudi karena membunuh saudara majikannya. Namun kemurahan hati keluarga korban memungkinkan Darsem lolos dari hukuman mati asal membayar Diyat (denda) senilai 2 juta riyal (4,7 Miliar Rupiah), jumlah yang tidak mungkin dipenuhi keluarga Darsem yang miskin.

Masyarakat kita yang baik hati dan mudah iba, dengan mediasi media massa mulai menggalang dana (semacam koin untuk Prita) untuk membantu pembebasan Darsem. Selain itu juga bertujuan memprovokasi pemerintah yang dicitrakan selalu lambat. Walhasil kedua tujuan itu berhasil. Pemerintah yang kegerahan akhirnya mengucurkan dana 4,7 Miliar untuk membayar denda, di lain sisi televisi (TV-One) berhasil menggalang dana dari masyarakat senilai 1,2 Miliar.

Karena denda sudah dibayar pemerintah muncul pertanyaan mau dikemanakan uang 1,2 Miliar yang telah digalang dari masyarakat. Dan karena televisi bukanlah lembaga donor profesional yang siap mengantisipasi semua keadaan, tak punya pilihan lain kecuali menjadikan uang 1,2 Miliar tersebut sebagai “pesangon” untuk Darsem setelah pulang kampung.

Upacara seserahan pesangon Darsem bertepatan dengan kegerahan yang lain, yakni nasib Ruyati, TKI yang gagal diselamatkan dari algojo Arab Saudi. Masyarakat turut menangisi Ruyati. Maka dalam acara seserahan yang penuh emosi itu, Darsem menyatakan bersedia membagi sebagian pesangonnya untuk keluarga Ruyati yang malang. Pemirsa dan publik pun bertepuk tangan menyaksikan kemuliaan hati Darsem.

Setelah 4 alenia panjang di atas, kisah ini baru dimulai.

Konon setelah pulang kampung membawa pesangon 1,2 Miliar, Darsem dikabarkan beralih wujud menjadi manusia belagu; beli ini beli itu, suka bermewah-mewah, bangun rumah beli sawah. Ada tetangga yang menjulukinya “emas berjalan”. Puncaknya terjadi ketika anak almarhumah Ruyati datang menagih janji ternyata hanya kebagian Rp. 20 juta. Kekecewaan ini sampai di telinga media massa.

Maka mulailah serangan baru kepada Darsem dari orang-orang kota yang diwakili media massa. Darsem pun divonis tak tahu diri. Anggota DPR, aktivis, Sosiolog mencercanya seolah Darsem adalah anaknya yang nakal yang telah mencederai niat baik orang kota yang menyumbang.

Darsem, seperti orang desa yang lain, tak punya mulut untuk bersuara. Mungkin dia berpikir, apa salah saya? Saya tidak pernah meminta pesangon itu tapi kalian memberinya dengan upacara seserahan yang mewah. Uang itu telah menjadi hak saya dan saya berhak mempergunakannya untuk memperbaiki kehidupan saya. Mengapa saya harus mengikuti pendapat anda jika anda mengaku telah ikhlas menyumbang kepada saya… Seperti saya mengikhlaskan 20 juta untuk anak almarhumah Ruyati?

Untuk orang kota yang suka menghakimi, sok pintar, sok bijak, cobalah berpikir dari sudut Darsem. Jangan paksa kenakan bajumu di tubuh Darsem. Ia tak pernah belajar ilmu pembukuan apalagi manajemen mengapa menuntutnya seketika bijak? Ia tak pernah memiliki perhiasan mengapa menuntutnya menjadi perempuan cantik nan anggun? Baginya 20 juta adalah pemberian yang sangat besar dan layak, meskipun saat ini ia miliarder. Doakan saja ia mampu berhemat, rajin menabung untuk sekolah dan masa depan anak-anaknya. Jikapun tidak, jangan salahkan dia. Salahkan diri sendiri kenapa demikian mudah mengumbar sumbangan tanpa perhitungan matang.

Darsem mewakili wajah masyarakat kita. Kesalahan dia adalah kesalahan kita juga.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Terimakasih

Sering kita terjebak pada dua sudut ekstrim permainan watak selama hidup di dunia ini. Pertama, menilai diri sendiri terlalu tinggi hingga tak nampak satupun manusia di atas panggung kecuali Saya; kedua, menilai diri sendiri terlalu rendah tiada arti, tenggelam diantara kebesaran manusia-manusia lain.

Aku menyebutnya permainan karena bukan demikian yang selayaknya. Tidak ada cetak baku bagaimana kita menghadapi dunia ini. Seperti topeng yang bisa kita kenakan atau tanggalkan. InsyaAllah hanya kita, umat manusia, di alam raya ini yang diberi keleluasaan oleh Tuhan untuk memilih “topeng” selama hidup di dunia.

Seorang teman meretwit kalimat bagus dari Maulana Rumi yang kemudian aku retwit ulang. Bunyinya kira-kira begini: “ Berterimakasihlah pada siapapun yang datang di kehidupanmu karena dia dikirimkan atas pesan Tuhan untuk memandumu”.

Berterimakasih kepada siapapun… betapa jarang kita melakukannya. Bahkan kepada orang-orang yang senyatanya telah berjasa dalam kehidupan kita, jarang kita sampaikan terimakasih tulus. Apalagi kepada orang-orang awam atau orang-orang yang telah mengecewakan kita.

Kita, minimal aku sendiri, mudah terganggu oleh kehadiran orang yang tidak kita kehendaki. Sebaliknya sering mengharap kehadiran orang yang kita inginkan, bahkan ketika orang tersebut tidak nyata. Tanpa sadar mengabaikan potensi-potensi di sekitar kita, para sahabat sejati, para guru, mursyid. Kesemuanya menyebabkan kemanusiaan kita macet tak berkembang.

Ada ungkapan “orang jahat adalah guru sejati”. Kejahatan mereka membuat kita tersadar untuk berbuat sebaliknya. Bahkan menurutku Nahi Munkar (menghindari kejahatan) lebih cepat kita tangkap maknanya daripada Amar Ma’ruf (menyeru kepada kebaikan).

Setiap jiwa memiliki arti, siapapun dia. Itu kesimpulanku. Kita hadir dalam kebingungan yang sama di tengah dunia yang rapuh ini. Ada kebahagiaan, banyak pula kesakitan. Tak ada kesempurnaan, semua saling menopang, menghidupi, saling memberi nafas. Kalau tidak salah Rumi juga mengingatkan kita pada dunia yang campur baur ini mustahil dipisahkan, ada Tuhan ada pula Setan. Itulah sifat dunia yang kita terjebak di dalamnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tentang Pengharapan

Hari ini aku berkesempatan merenungkan makna satu ayat yang pernah kutulis dalam posting sebelumnya: Wa laa taeasuu min rahmatillah..; dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.

Sebelumnya jangan berprasangka dulu kalau aku sedang (lebih) relijius. itu fitnah! aku tetap sama dengan kemaren-kemaren. Hanya sedang merenungkan satu ayat.

Latar belakangnya pun sederhana. Dua bulan terakhir ini praktis tidak ada program yang jalan mulus. Ada yang sudah MoU tapi pelaksanaannya diundur-undur. Ada yang sudah komitmen tiba-tiba lari. Sudah ACC tapi yang bersangkutan malah mengundurkan diri, dll... hingga membuatku limbung dan nyaris berhenti berharap. Hampir mengikhlaskan itu semua. Belum rejeki kalau bahasa awamnya. Prihatin melihat isi dompet yang kian menipis, melihat teman-teman yang sedang banyak kebutuhan; SPP, istri melahirkan, kredit-kredit..

Dan tiba-tiba dering hape tadi pagi memberi kehangatan yang melebihi segelas kopi pagi. Alhamdulillah ada satu yang gol. Hanya (baru) satu, tapi itu sudah cukup menutup gelisah. Dan akupun teringat pesan suci: laa taeasu, janganlah berputus asa.

Allah tak akan membiarkan kita mati dalam harapan, terkecuali DIA demikian mencintai kita. Tak apalah "sedikit" kurang dicintai oleh yang Maha adil... memang baru disitulah maqam kita. diuji dengan cobaan dan hambatan, ditantang untuk bersabar.

Lalu ujian yang lebih berat justru hadir ketika keinginan telah dipenuhi. Seketika menjadi lebih kikir. Ketika rezeki belum sampai, kita bernazar macam-macam, begitu rezeki dipenuhi sebagian nazar itu kita revisi karena bayangan keinginan dan nafsu berputar-putar mengitari kepala...; tentang laptop baru (yang lama masih bisa dipakai), tentang plesir ke Bandung (ibukota republik nafsu), BB seri terbaru, dst

Menjadi malu mengingat testimoni seorang kawan, senior, sekaligus guru. Beliau berkata: ketika mendapat 500 USD aku nekad membagikan 300 USD untuk beberapa teman, besoknya datang 1.000 USD lalu kudermakan 500 USD, minggu depannya turun 3.000 USD.. Tiada perniagaan yang lebih menguntungkan dari berniaga dengan Allah.

Contoh di atas kurang baik buat yang masih suka menghitung-hitung isi kantong. Sekalipun pamrih tidak dilarang, jengah juga membayangkan kita mendermakan 300 USD dengan pengharapan mendapat 1.000 USD besok. Kecuali mental ruhani anda telah sangat siap dengan formula ikhlas.

Lebih mudah barangkali; batasilah kebutuhan anda, ambil berapa yang benar-benar kita perlukan lalu ikhlaskan sisanya. Tapi berapa yang benar-benar kita perlukan? dunia menuntut kita terus menambah daftar kebutuhan.... Juga pasti ada yang usil bertanya: Kapan kayanya kalau caranya demikian....?

Kehidupan modern mengajarkan kita menabung, sebanyak mungkin menabung... Sedangkan Rasulullah menghimbau kita membatasi diri. Asal ada cadangan makanan untuk beberapa hari, Rasul mendermakan sisanya. Salah satu dampak menabung adalah membuat kita jadi hemat (baca kikir).

Aku baca kisah sukses Warren Buffet, salah satu orang terkaya di dunia yang mewariskan sebagian besar kekayaannya untuk kepentingan masyarakat, bukan kepada anak-anaknya. Beliau berkata: pada titik puncak kejayaan bisnis, rezeki mengalir demikian deras sehingga kita kerepotan menampungnya, padahal kita tidak melakukan apa-apa yang sebanding dengan derasnya rezeki itu, oleh karenanya itu harus dikembalikan lagi pada masyarakat.

Intinya adalah, buat aku.... aku tak ingin menjadi kaya karena berhemat (baca kikir), aku ingin menjadi kaya karena derasnya tambahan rezeki. mudah-mudahan bisa.

Maka dari itu... sepertinya aku harus menjadwalkan traktir karaoke di Inulfista untuk teman-teman (loooohhh kesimpulannya kok...hehehe)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Seleksi

Sebenarnya aku tak terlalu dekat dengan keluarga, tapi melihat keponakanku yang baru gagal SNMPTN kemaren sore (baca: tidak diterima di UI)kok jadi kesentuh banget ya. Mungkin karena telah semalaman dia menangis hingga perutnya sakit, mungkin karena dia anak yatim, mungkin karena aku ingin sekali membalas budi pada ibunya yang ikut andil mengasuh masa remajaku... entahlah...

"terpaksa" aku memeluk dan mencium kedua pipinya. Hal pertama yang pernah kulakukan untuk keponakan-keponakanku. Sekadar memberi pesan bahwa aku ikut prihatin dan tetap menyokongnya. Yah... kami memang berasal dari keluarga yang irit sekali mengekspresikan kasih sayang.

Aku juga pernah merasakan kecemasan yang sama, dulu... zaman UMPTN. Bingung, sedih, takut bercampur jadi satu. Dan terpaksa harus menunggu satu tahun untuk ikut UMPTN berikutnya. Untungnya zaman sekarang ada ujian berlapis-lapis. Jika gagal di SNMPTN bisa langsung ikut lagi melalui seleksi jalur SIMAK UI, meskipun tidak menjamin tapi setidaknya memberi sedikit harapan baru.

Semoga dia lebih beruntung di ujian SIMAK UI besok. Aku yakin dia lebih pintar dari aku dulu. Minimal bisa mengurangi beban ibunya. Sing sabar yo nduk...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perjalanan

619 M, tahun 10 kenabian, disebut sebagai Aamul Huzni, tahun kesedihan, tahun kedukaan bagi Rasullulah SAW. Betapa tidak, dua soulmate-nya: Siti Hadijah (istrinya) dan Abu Thalib (pamannya) meninggal dunia berurutan di tahun itu.

Keduanya adalah sahabat sekaligus pelindung, penjaga hati dan fisik. Keduanya adalah penopang perjuangan Rasul menyebarkan iman bagi penduduk Makkah. Tekanan, hambatan, teror, ancaman maupun siksaan dari para penentang iman sedikit banyak menjadi lebih ringan karena adanya dua orang tersebut.

Dalam kegalauan dan kesumpekan yang semakin menghimpit, Allah SWT memberikan hadiah, penghiburan kepada Rasul dengan memperjalankannya ke Masjidil Aqsa lalu mendaki ke Sidratil Muntaha dalam satu malam, pulang pergi, yang hari ini kita peringati sebagai Isra’ Mi’raj.

Rasa sedih pun sirna, karena penghiburan itu juga sekaligus momentum pensucian hati yang tak terkira. Sebuah tetirah ruhaniah. Bagaimana Rasulullah menapak tilas perjuangan para pendahulunya. Diberikan kesempatan berdialog dengan mereka, bahkan akhirnya berdialog dengan Allah sendiri di Sidratil Muntaha.

Isra’ Mi’raj juga menjadi penegasan iman yang sangat kuat, menarik garis batas demarkasi antara mereka yang mempercayai perjalanan spiritual agung tersebut dengan mereka yang mencemoohnya sebagai puncak kegilaan seorang Muhammad. Rasulullah bukanlah seorang politisi yang gemar berkompromi dengan para penentangnya. Ketika hambatan dan tekanan semakin menghebat, justru kenabiannya diperteguh melalui kisah menggemparkan bernama Isra’ Mi’raj.

Bagi kita, pengikut Rasulullah, Isra’ Mi’raj memberi pesan luhur tentang perjalanan ruhani. Jika pribadi tersucikan seperti Rasul harus mengalami perjalanan ruhani setelah didera kepedihan duniawi, mungkin setiap kita (para pengikutnya) juga dapat mengalami hal yang kurang lebih sama. Semoga di tengah kedukaan duniawi yang kita rasakan, hati kita diberikan kesempatan diperjalankan oleh Allah SWT menuju pensucian dan penegasan iman. Rumi berkata: "Hati yang remuk adalah Hati yang sedang mengembangkan sayapnya".

Wa laa taeasuu min rahmatillah..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Petualangan Shehari di Provinsi Badhokan..

Jakarta - Surabaya -Mojokerto - Blitar - Mojokerto - Surabaya - Jakarta.

Setiap ke Jawa Timur urusan maha penting adalah makan (mbadogk). Lihat rawon pengen rawon, lihat pecel pengen pecel, lihat krengsengan ngiler, lihat rujak cingur ngiler. Semuanya.... Semuanya.

Berbahagialah kalian yang punya kampung halaman. Sebab tidak ada makanan otentik di jakarta. Adanya hanya: seperti rawon, seperti pecel, seperti baso malang dan seperti-seperti yang lain.

Tadi seharian aku mengelana, menjelajahi jawa timur dari sudut timur utara sampai barat selatan (Blitar). Karena perut cuma satu, tak bisa kucoba semua makanan di sepanjang jalan. Maka demi mengakomodir itu, aku tetapkan sehari tadi adalah Hari Rawon; dari Rawon Nguling di Surabaya, Rawon Iga Goreng di Mojokerto, dan Rawon home-made ala ibunya Mas Anas di Blitar.

Semuanya khas dan lejat sungguh. Berbeda-beda tapi sama enaknya. Tak bisa dipilih... Semua harus diambil. Berkali-kali rekan jalanku yang asli madura menyeru: tak ada makanan tak enak di sini... Idem dito.demi kangen ia embat es cincau pagi hari disaat minuman yang beradab hanyalah teh manis hangat. Saya tak peduli, katanya. Kapan lagi bisa merasakan es cincau selejat ini.

Apa pesan dari ini semua? Di pesawat aku sakit perut. Baru sadar belum menabung 2 hari... Alamaaakkk tak rela rasanya sisa rawon ini dibuang-buang..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sedang Ingin Bertanya

1. Gimana ya caranya menumpulkan pamrih tapi tetap menikmati kehidupan?
2. Gimana ya caranya menumbuhkan minat pada hal-hal baru? (misalnya olahraga atau belajar nyetir)
3. Gimana ya caranya memberanikan diri periksa darah? (takut kena diabet oeyy)
4. Membuat kehadiran kita selalu membahagiakan orang sekeliling?
5. Membuat orang kasih duit ke kita tanpa harus memintanya?
6. Berhenti melakukan itu?
7. Meyakinkan dia?
8. Rajin Shalat?
9. Haji tahun depan?
10.Menikahi perempuan yg kuinginkan?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sedang Ingin (Menulis) Bercinta..

Sebelum lebih jauh, kuingatkan kembali, blog ini kunamai blog hati. Isinya kadang (sebenarnya sering) menye-menye, pinjem istilah erma-kalo gak salah. Gak ada yang bermutu di sini. Anggap saja ini keranjang sampah, tempat kita membuang semua yang tidak kita perlukan lagi. Bayangkan bila tidak ada keranjang sampah di dunia ini.... Makanya jangan suka mengkeranjangsampahkan orang lain (lohh... wkwkwk)

Kemaren aku bercerita ke my soulmate (sok punya), teman sependeritaan beda versi, bahwa tak mau lagi aku meracuni hatiku dengan yang namanya Ce-I-eN-Te-A, The biggest illusion in the world. Aku tak mau lagi menyerah pada cinta-cinta kecil itu agar kelak bisa menampung Cinta yang buesarrrr. dan lalu aku jadi suka memanggil banyak perempuan dengan panggilan-panggilan: sayang, milady, cah ayu, kanjeng ratu, honey, cantikkk.., apapun yang kira-kira terdengar manis walau berbau gombal mukiyo.

Jadi ingat kelakar Emha, "aku mencintai semua perempuan dan sesungguhnya semua perempuan mencintaiku, tapi kubiarkan setiap lelaki mengambil perempuan-perempuanku dan akhirnya aku sendiri tak kebagian". *hanya kelakar...

Tapi aku serius dengan illusion tadi. Justru karena berat sekali rasanya hendak berpaling. Mbak Soulmate-ku berujar: saya hanya bilang cinta itu ilusi kalau lagi patah hati atau bila tak berbalas, kalau berbalas ia akan menjadi nyata... haha, semacam ilusi bertingkat.

Dalam sejarah kemanusiaan.. (busyett....ngelanturnya).. Persembahan kemanusiaan terbesar justru datang dari cinta yang tak butuh balasan seperti cinta Yesus dan Muhammad kepada ummatnya, sementara monumen cinta berbalas yang terbesar hanyalah Tajmahal. Ingat Tajmahal jangan mengingat keindahannya saja. Ingatlah juga berapa banyak harta-nyawa orang kecil yang dipaksa-kerahkan oleh Syah Jahan untuk mendirikan monumen tak berguna itu. Apa coba yang kalian sumbangkan untuk dunia ini wahai para pecinta-berbalas? selain anak-anak...

Jadi, bila dipaksakan adanya cinta yang nyata, itu justru terletak pada cinta yang tak berbalas atau tak butuh balasan... Cinta yang sungguh buesarrrr

Kesimpulan di atas kupercayai tapi tak bisa kupertanggungjawabkan. Jadi jangan dicerca yaaa... ayang-ayangku. Anggap saja itu sampah.


*gak penting banget tulisan ini, tapi sayang kalo tak diabadikan. Siapa tau bisa kutertawakan sendiri kelak.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kereta Waktu

Pernah mengalami saat-saat dimana demikian susah menggambarkan apa yang sedang kita alami dan rasakan? apalagi menuliskannya... terjebak dalam masalah yang sama berkali-kali seperti film yang diulang-ulang dengan penonton tunggal: Kita!.

Diam...karena tak punya jawaban, berharap diamnya menjadi sebongkah mutiara, menunggu moment of AHA, sembari berseru: Wahai dunia... telah kupecahkan kodemu dan kini aku melambung tinggi, melampaui tangga-tangga yang kau sediakan.

Orang bijak mengingatkan; jangan tidur di kereta waktu, kau pejamkan mata dan tau-tau sudah sampai Surabaya.
Orang bijak yang kurang sabar mencerca: hanya keledai yang terperosok di lubang yang sama dua kali (gak yakin ada keledai setolol itu).

Ada satu lagi kawan (i miss him) yang gemar mengumbar kata: leverage factor (baca: faktor pengungkit) yang membuat kesadaran berpendar bercahaya, kehidupan baru dimulai. Atau "lompatan quantum", istilah para pengikut Sandiaga Uno. yang membuat penggerak UKM melompati kelas sosial menjadi enterpreneur muda yang gagah sentosa...

Tegasnya, menurut mereka,.. kita harus mampu keluar dari masalah rutin, mencipta leverage factor atau mereka lompatan quantum, lalu... makbedunduk.... creating new world. Mau banget sih.... tapi apa iya ada?

Kok sepertinya paragraf-paragraf di atas berantakan ya..
gak bisa dipahami? biarin...
Pesimis? Wallahu A'lam

Hanya ingin bilang... kadang kita dituntut meredam hati, menjaga gejolaknya tetap di zona aman. Biar dikira bijak.. haha *kidding

Sementara malam/pagi ini tetap berpikir; mungkinkah langit dipisahkan dari mendung?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Put Your Lights On

Hey now, all you sinners
Put your lights on, put your lights on
Hey now, all you lovers
Put your lights on, put your lights on

Cause there's a monster living under my bed
Whispering in my ear
There's a darkness living deep in my soul

I still got a purpose to serve
So let your light shine, deep into my home
God, don't let me lose my nerve
Don't let me lose my nerve

There's an angel, with a hand on my head
She say's I've got nothing to fear

She says: La illaha illa Allah
We all shine like stars
Then we fade away
(Everlast)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hati

Seorang teman mengirim sms tepat jam 01:13 wib. Isinya: “Hampir kehabisan akal! Saumpama aku mati ketabrak sepur, tetep nyekaro yo…” (Seumpama aku mati ketabrak kereta api, tetap ziarahi aku ya…). Bergidik aku membacanya, walau tak yakin ia bakal senekad itu.

Aku ingat sebuah petitih yang dulu sering kukutip: “Kehidupan tak pernah peduli apa yang kamu pikir tentangnya”. Dunia terus bergerak dengan caranya sendiri tanpa menghiraukan bagaimana manusia menafsirkannya.

Kadang ada manusia yang tak sadar pongah ketika kehidupannya selalu selaras dengan apa yang dimauinya, menganggap bahwa Ia dan kemauannya lah yang menentukan arah kehidupannya; Sekolah, berprestasi, bekerja di tempat yang baik, berpenghasilan lumayan, menemukan jodoh yang tepat, melahirkan anak-anak yang lucu, makmur, mati, masuk surga…

Namun tidak jarang mereka yang kehidupannya melenceng dari kemauannya; sekolah berprestasi namun gagal dalam pekerjaan, sukses profesi tapi tak kunjung menemukan jodoh yang tepat, sukses segalanya tapi tidak berhasil mendapatkan keturunan, dst, dst…

Aku genap 38 tahun beberapa hari lalu dan masih dalam status yang sama. Kadang perih juga jika setiap ucapan kita, apapun status yang kita pasang di media sosial kemudian direspon miring beberapa teman yang menvonis kita seperti manusia cacat, belum sempurna, karena masih single dan itu dianggap buah dari “kesalahan kita”. Semua yang kita ungkapkan dibelokkannya ke arah itu yang menyebabkan lambat laun kita ikut merasa “bersalah” juga. Padahal seumur-umur aku tak pernah punya kemauan dan cita-cita tetap single di usia 38.

Lain lagi cerita kawan di paragraf pertama. Di mataku ia adalah pria paling beruntung, mendapatkan cinta yang berlimpah dari seorang wanita idamannya namun nyaris tak memiliki dukungan sosial untuk meresmikan hubungan mereka. Egonya menantang dunia, apa daya dunia menghancurkan perlawanannya, hampir kehabisan akal sehat.

Sama seperti aku, dia memuja ego dan cinta. Bedanya, ia mendapatkan cinta yang aku tidak pernah merasakannya. Ternyata semakin tua ego kita ikut menebal. Mengeras bagai batu kali. Ironisnya, jarang dari kita yang menyadarinya. Kita mudah menuduh ke-ego-an orang lain, lupa melihat diri sendiri. Seperti petitih Jawa “menungso amung tansah sawang sinawang”, manusia hanya saling melihat dan menilai orang lain tapi lupa menilai diri sendiri.

Sama seperti dia, aku juga nyaris kehilangan akal. Kadang bahkan terasa seperti tidak memiliki hati lagi. mengalir tanpa tau hendak kemana…. Terdengar kelam.

Tapi aku setuju dengan pendapat banyak orang: hidup ini (seburuk apapun) terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Impianku menjadi lebih sederhana: Hanya ingin berbuat baik untuk orang lain!. Atau seminimalnya jangan sampai apa yang kita lalui dan rasakan justru menimbulkan kesulitan dan kesedihan buat orang lain. Menjaga hati sendiri, menjaga hati orang lain.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS