Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

TAIL WAGGING THE UNDERDOG

Ngobrol bersama anak-anak media belakangan ini kian menjurus ke arah keprihatinan yang sama; konglomerasi. Media massa kita hari ini telah berkelompok menjadi grup-grup besar yang dikontrol oleh kurang dari 10 milyarder (bahkan triliuner) pemilik media. Sebut beberapa contoh: MNC grup, Bakrie grup, Kompas grup, Tempo grup, JPNN dst. Setiap grup memiliki televisi, radio, koran, majalah, dan portal internet-nya sendiri. Ini bisnis yang sangat-sangat besar.

Lazimnya dalam core bisnis yang sama, antar grup pasti bersaing ketat demi jumlah pemirsa, oplah, pembaca, atau jumlah pengunjung (untuk internet). Akuisisi satu media oleh grup lain, hak siaran langsung atau tayang eksklusif, saling membajak wartawan dengan iming-iming gaji lebih tinggi menjadi bumbu sehari-hari. Termasuk persaingan ketat dalam konten informasi, siapa yang leading sebagai trendsetter berita dialah yang akan bertahan dan jaya.

Pertemuan lanjutan dengan seorang jurnalis senior yang kerap mengkritik kualitas berita media massa saat di jagad twitter memberi saya dua pencerahan, tidak rugi saya menanggap beliau dari jam 9 malam hingga jam 6 pagi.

Pertama adalah hakikat bisnis media itu sendiri. Orientasi utama media massa adalah laba, sama dengan bisnis-bisnis yang lain.Kedua adalah relasi media massa dengan kehidupan sosial yang lain. Bagian ini menurut saya paling menarik.

Media massa dalam sistem dunia bebas diposisikan sebagai pilar keempat demokrasi. Artinya, dalam posisi itu, media massa “seharusnya” bukan sekadar bussiness as usual. Ada missi sosial di balik media massa mengingat ia menjadi satu-satunya alat komunikasi massa paling massif dan efektif. Ia menjadi medium antar berbagai pihak, kepentingan dan stakeholder di sebuah kawasan.

Dalam konteks normatif sebuah medium adalah bebas kepentingan karena ia hanya berfungsi memediasi. Namun definisi ini hanya das sollen (apa yang seharusnya), bukan das sein (apa yang benar terjadi).

Dalam kenyataan bahkan nyaris tidak pernah ditemui media yang tidak punya kepentingan. Hal ini kembali ke hakikat awal media sebagai sebuah bisnis yang harus meraih laba. Persaingan mendorong media-media tidak hanya menyiarkan berita (news broadcasting) tetapi bila perlu membuat berita (news making). Terdapat perbedaan signifikan antara keduanya.

Sebuah berita tidak dapat menyiarkan dirinya sendiri, ia perlu diberitakan oleh awak media. Dari sinilah kepentingan itu berawal. Ketika memilih dan meramu sebuah berita menyusup di dalamnya perspektif awak media sekaligus kepentingan pemilik media.

Dalam memilih berita mana yang perlu diberitakan dan bagaimana disajikan untuk publik, awak media perlu melakukan framing, pembingkaian berita sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan empunya. Tanpa framing berita bukanlah berita, hanya semacam pengumuman jadwal ronda di pos hansip.

Lebih jauh lagi media dapat membuat agenda setting, penciptaan latar dan reasoning sehingga hanya kebenaran media yang akan menjadi kebenaran publik. Benar-salah, baik-buruk bagi masyarakat adalah apa yang telah ditentukan oleh media. Media beraksi massa mengamini.

Sialnya, (lagi-lagi), kekuasaan politik dan ekonomi di sebuah kawasan merupakan dua matra terpenting yang mempengaruhi sistem sosial dan dengan demikian memaksa media massa bergulat serius, sebagian besar tunduk dan hanya sejumlah kecil yang bertahan independen. Parahnya, (lagi-lagi-lagi), para pemilik media sekaligus merupakan figur-figur terpenting dalam sistem kekuasaan politik dan ekonomi. KLOP SUDAH.

Sang senior kemudian menyarankan saya menonton film lama berjudul Wag The Dog (1997), berkisah tentang bagaimana para spin doctors menggunakan jaringan media massa untuk menyiarkan kebohongan, menghancurkan lawan, atau mengangkat derajad seorang public figure. Sebuah black comedy satiris yang cukup mencerahkan walaupun menyiksa saya (karena tanpa subtitle Indonesia).

Film ini diangkat dari novel berjudul American Hero (1993) karya Larry Beinhart. Kisah aslinya bercerita tentang bagaimana Presiden George H.W Bush (Bush senior) menciptakan fake war (Perang Teluk) hanya demi terpilih kembali pada masa jabatan periode kedua. Namun dalam versi film kisahnya diubah tentang seorang incumbent Presiden AS yang terjebak skandal seks dengan seorang remaja putri hanya 2 minggu sebelum Pilpres. Dedengkot spin doctors Conrad Brean, diperankan Robert DeNiro, mati-matian memeras otak untuk mengalihkan isu skandal sex dengan menciptakan berita palsu serangan teroris di Albania, dibantu produser Hollywood kenamaan Stanley Motss, diperankan Dustin Hoffman. Motss membuat film pendek palsu tentang teroris Albania bahkan menyiapkan lagu khusus untuk menegaskan tagline.

Ketika seorang staf kepresidenan serius bertanya: “Mengapa Albania?” DeNiro dengan enteng menjawab: “Mengapa tidak? Kita tidak tahu apa itu Albania dan semakin banyak masyarakat yang tidak tahu tentang negara Albania akan semakin baik efek(berita)nya”. Walhasil melalui jejaring luas media, berita palsu itu dikonsumsi masyarakat sebagai kebenaran tanpa banyak tanya.

Tagline di awal film cukup menginspirasi: Why does a dog wag its tail? Because a dog is smarter than its tail. If the tail were smarter, the tail would wag the dog.

Frasa “Tail wagging the dog”, merupakan idiom bahasa Inggris lama, berarti: a minor or secondary part of something controlling the whole (mengutip ngawur dari wikipedia.org, maksudnya bahagian kecil yang mengontrol keseluruhan, seperti para spin doctors dan media massa yang mengontrol opini publik).

Mari kita kembali ke Indonesia…..

Semua yang dikhawatirkan Larry Beinhart tersaji lengkap di meja makan bernama Indonesia. Para juragan media yang sekaligus elit politik dan ekonomi (lihat seriusnya Surya Paloh pidato bermenit-menit penuh busa di Metro-TV atau golkar lagi golkar lagi di TV kuning); media massa yang kelewat bebas (sidang pengadilan pun bisa disiarkan live, padahal di AS itu diharamkan). Paling celaka adalah politisi yang tak punya media, seperti Anas Urbaningrum yang harus rela menjadi bulan-bulanan kebrutalan media.

Masalahnya adalah, di tengah bursa sengit kepentingan jelang laga 2014, dimana setiap oligark saling bunuh guna memastikan panggung 2014 terbuka lebar untuk mereka dan bersih dari para pesaing, media massa menjadi pisau paling ampuh untuk menusuk, menjungkalan, dan menguliti lawan. Bukan kebenaran tetapi kepentingan yang bekerja.

Masalahnya lagi (lagi-lagi masalah), dimana kita bisa bersembunyi dari serbuan operasi media? Setiap hari televisi menjebak mata dan telinga; koran, majalah, internet mendesak masuk. Pernahkah membayangkan ada 9 dewa mabuk tengah berlomba menggencet kita dari segala penjuru? Mencemari semuanya, termasuk udara yang kita hirup. Dimana kita bisa bersembunyi?

Konon propaganda media pertama kali diperkenalkan Dr. Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi Jerman menjelang dan selama Perang Dunia II. Hanya melalui siaran radio yang terus diulang-ulang Nazi berhasil merubah masyarakat Jerman yang beradab (tapi sedang frustasi) menjadi bangsa pembunuh sadis. Siaran radio yang tanpa henti memenuhi atmosfir perlahan menyusup masuk kepala orang Jerman. Kebohongan yang terus diulang perlahan akan menjadi “kebenaran”, teori ini telah dibuktikan Joseph Goebbles. Hanya dengan radio, belum ada televisi dan internet.

Versi lebih modern terjadi di AS era George W. Bush (Bush junior) melalui sandiwara perang melawan terorisme dan dalih ancaman senjata pemusnah massal yang dilansir media-media mainstream AS. Tuduhan senjata pemunah massal sebagaimana ditudingkan media-media mainstream tidak pernah terbukti keberadaannya, Namun Iraq terlanjur telah luluh lantak akibat rangkaian kebohongan Bush/Media hanya demi terpilihnya kembali George W. Bush dan kenyangnya oligark di sekitarnya.

Kurang terpelajar apa masyarakat AS? Kurang tangguh apa para penantang perang di sana? Tetap saja menjadi sasaran empuk para spin doctors penguasa opini media. Media Massa adalah “Media mencipta kebenaran dan Massa mengamininya”.

Bagaimana dengan kita? Para underDOG ini?

Yang merasa well informed karena menonton lawyers club di TV kuning, pembaca setia detik.com, atau mengikuti timeline @TrioMacan2000;

Yang merasa pintar tanpa sadar kepala kita sedang dipahat oleh 9 dewa mabuk oligark media.

Tail wagging the underDOG absolutely.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS