Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Waafthiru Lil Politik

Sepertinya tahun ini bakal ada dua hari raya idul fitri lagi, satu hari selasa (versi ru’yatul hisab Muhammadiyah), satu hari Rabu (versi pemerintah/ru’yatul hilal NU). Sikap saya dalam hal ini selalu jelas: ikut yang pertama. Bukan karena saya pengikut Md, tapi ambil yang lebih cepat saja.

Dulu, 20 tahun silam, pertama kali menyaksikan dua versi hari raya, saya menganggap hal itu penting dalam kacamata agama. Sesuai dengan petunjuk Rasul “shaumu liru’yatihi waafthiru liru’yatihi/berpuasalah kamu karena melihatnya (bulan) dan berbukalah karena melihat (bulan)”.

Lama kelamaan, dalam penglihatan saya, selain motif keagamaan penyebab hari raya berbeda juga bergantung motif politik, yakni hubungan kedua ormas Islam besar tersebut dengan pemerintah. Mengapa demikian?

Pertama: dulu ketika Gus Dur (NU) menetapkan hari raya lebih dahulu sangat berkaitan dengan sikapnya sebagai oposan terhadap pemerintah saat itu (Orde Baru). Sikap Gus Dur adalah perlawanan kultural terhadap pemerintahan Soeharto.

Mengapa perlawanan kultural terhadap pemerintah menjadi penting? Karena pemerintah menganggap dirinya mengatasi segalanya, berada di atas rakyatnya, pemimpin adalah Bapak, bapake arek-arek. Perlawanan kultural disikapi sebagai “tidak memberi muka” kepada Sang Bapak, dan dicemaskan akan menggerogoti wibawa Sang Bapak.

Hari ini, Muhammadiyah (terutama Dien Syamsuddin) berada dalam posisi yang—meskipun bukan oposan, tetapi—kurang harmonis dengan pemerintah. Menteri Agama bukan dari Muhammadiyah dan beberapa pandangan Dien yang cenderung miring terhadap Pak Beye.

Kedua: jika melulu soal melihat bulan, kenapa kedua ormas itu tidak pernah berbeda dalam menentukan kapan awal Ramadlan. Perbedaan hanya terjadi ketika menentukan satu Syawal. Bukankah itu rembulan yang sama…?

Ketiga: alasan yang menentukan lebaran duluan selalu sama, yakni hilal (bulan baru) telah terlihat meskipun masih sangat rendah (di bawah ufuk), sementara yang lain berpendapat hilal belum cukup tinggi. Perbedaan hanya soal berapa derajat di bawah atau di atas garis ufuk.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Qadla Agung di Jumat Agung

Ajakan seorang Sahabat untuk melakukan Shalat Kiffaroh di Jumat terakhir bulan Ramadlan (Jumat Agung) sedikit menggoda. Meski sejumlah kawan meneriakinya sebagai bid’ah (mengada-adakan hal baru yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah) atau bersumber dari hadis palsu (maudlu’).

Yang dimaksud dengan ajakan Shalat Kiffaroh di Jumat Agung adalah kesempatan emas menebus shalat-shalat kita yang bolong-bolong tak karuan selama setahun terakhir ini (ada yang bilang selama 70 tahun usia kita) dengan menqadlanya di hari Jumat Agung.

Artinya sampeyan cukup shalat beruntun subuh-dluhur-ashar-maghrib-isya, masing-masing sekali, pada siang hari ini (jumat 26 Ramadlan/Agustus) dalam rangka menebus kelalaian shalat sampeyan setahun penuh. Menggoda sekali bukann.. hehe. Terutama buat yang teramat sangat jarang shalat macam saya.

Kembali ke syari’ah, tidak ada ketentuan tentang shalat macam ini. ini Palsu, lemah, bid’ah dst. Itu dalam kacamata syari’ah. Bahkan istilah Jumat Agung untuk menyebut hari jumat terakhir di bulan Ramadlan lebih merupakan ungkapan religio-politics yang diumumkan oleh Imam Khomeini dengan nama Yaumul Quds untuk membantu perjuangan negeri Palestina. Hanya kalangan Syi’i yang memperingati Yaumul Quds pada hari Jumat Agung.

Tapi dari dulu… Saya selalu berpikir bahwa syari’ah lebih mirip tangga dibandingkan garis batas. Tangga menantang kita terus mendaki melampaui anak-anak tangga tertinggi mencari ada apa di atas syari’ah. Sedangkan sebagian besar muslim di sekitar kita lebih suka memperlakukan syari’ah bak wasit dan hakim garis di pertandingan sepak bola. Setiap kali kita melanggar garis peluit ditiup nyaring dan kita dihukum.

Bagaimana menurut sampeyan? Syari'ah itu tangga atau garis batas?

Saya jadi ingat puisi doa karya Maulana Rumi yang berjudul KEMBALI…

Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.
Begitulah caranya!

Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepada-Nya!

Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;
karena Tuhan, dengan rahmat-Nya
akan tetap menerima mata uang palsumu!

Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja.
Begitulah caranya!

Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayolah datang, dan datanglah lagi!
Karena Tuhan telah berfirman:
“Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepada-Ku,
karena Aku-lah jalan itu.”


Melalui Kifarroh ini saya ingin berada di jalan itu, datang lagi dan terus mencoba datang lagi walau kemaren ingkar janji, sambil merangkak bila perlu. Saya yakin Dia akan menerima mata uang palsuku. Meskipun ini hanya prasangka semoga menjadi prasangka yang baik tentangMu. Meskipun masih ada sejuta keraguan semoga berkurang menjadi 999.999 saja.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Darsem Wajah Kita

Kabar kurang sedap, seperti biasa, dihembuskan media massa kita seperti bau napas orang puasa yang malas sikat gigi. Kali ini tentang Darsem. Kalau sampeyan lupa siapa itu Darsem sedikit ingin kubagi disini.

Darsem adalah TKI asal Subang yang divonis mati oleh pengadilan Arab Saudi karena membunuh saudara majikannya. Namun kemurahan hati keluarga korban memungkinkan Darsem lolos dari hukuman mati asal membayar Diyat (denda) senilai 2 juta riyal (4,7 Miliar Rupiah), jumlah yang tidak mungkin dipenuhi keluarga Darsem yang miskin.

Masyarakat kita yang baik hati dan mudah iba, dengan mediasi media massa mulai menggalang dana (semacam koin untuk Prita) untuk membantu pembebasan Darsem. Selain itu juga bertujuan memprovokasi pemerintah yang dicitrakan selalu lambat. Walhasil kedua tujuan itu berhasil. Pemerintah yang kegerahan akhirnya mengucurkan dana 4,7 Miliar untuk membayar denda, di lain sisi televisi (TV-One) berhasil menggalang dana dari masyarakat senilai 1,2 Miliar.

Karena denda sudah dibayar pemerintah muncul pertanyaan mau dikemanakan uang 1,2 Miliar yang telah digalang dari masyarakat. Dan karena televisi bukanlah lembaga donor profesional yang siap mengantisipasi semua keadaan, tak punya pilihan lain kecuali menjadikan uang 1,2 Miliar tersebut sebagai “pesangon” untuk Darsem setelah pulang kampung.

Upacara seserahan pesangon Darsem bertepatan dengan kegerahan yang lain, yakni nasib Ruyati, TKI yang gagal diselamatkan dari algojo Arab Saudi. Masyarakat turut menangisi Ruyati. Maka dalam acara seserahan yang penuh emosi itu, Darsem menyatakan bersedia membagi sebagian pesangonnya untuk keluarga Ruyati yang malang. Pemirsa dan publik pun bertepuk tangan menyaksikan kemuliaan hati Darsem.

Setelah 4 alenia panjang di atas, kisah ini baru dimulai.

Konon setelah pulang kampung membawa pesangon 1,2 Miliar, Darsem dikabarkan beralih wujud menjadi manusia belagu; beli ini beli itu, suka bermewah-mewah, bangun rumah beli sawah. Ada tetangga yang menjulukinya “emas berjalan”. Puncaknya terjadi ketika anak almarhumah Ruyati datang menagih janji ternyata hanya kebagian Rp. 20 juta. Kekecewaan ini sampai di telinga media massa.

Maka mulailah serangan baru kepada Darsem dari orang-orang kota yang diwakili media massa. Darsem pun divonis tak tahu diri. Anggota DPR, aktivis, Sosiolog mencercanya seolah Darsem adalah anaknya yang nakal yang telah mencederai niat baik orang kota yang menyumbang.

Darsem, seperti orang desa yang lain, tak punya mulut untuk bersuara. Mungkin dia berpikir, apa salah saya? Saya tidak pernah meminta pesangon itu tapi kalian memberinya dengan upacara seserahan yang mewah. Uang itu telah menjadi hak saya dan saya berhak mempergunakannya untuk memperbaiki kehidupan saya. Mengapa saya harus mengikuti pendapat anda jika anda mengaku telah ikhlas menyumbang kepada saya… Seperti saya mengikhlaskan 20 juta untuk anak almarhumah Ruyati?

Untuk orang kota yang suka menghakimi, sok pintar, sok bijak, cobalah berpikir dari sudut Darsem. Jangan paksa kenakan bajumu di tubuh Darsem. Ia tak pernah belajar ilmu pembukuan apalagi manajemen mengapa menuntutnya seketika bijak? Ia tak pernah memiliki perhiasan mengapa menuntutnya menjadi perempuan cantik nan anggun? Baginya 20 juta adalah pemberian yang sangat besar dan layak, meskipun saat ini ia miliarder. Doakan saja ia mampu berhemat, rajin menabung untuk sekolah dan masa depan anak-anaknya. Jikapun tidak, jangan salahkan dia. Salahkan diri sendiri kenapa demikian mudah mengumbar sumbangan tanpa perhitungan matang.

Darsem mewakili wajah masyarakat kita. Kesalahan dia adalah kesalahan kita juga.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Terimakasih

Sering kita terjebak pada dua sudut ekstrim permainan watak selama hidup di dunia ini. Pertama, menilai diri sendiri terlalu tinggi hingga tak nampak satupun manusia di atas panggung kecuali Saya; kedua, menilai diri sendiri terlalu rendah tiada arti, tenggelam diantara kebesaran manusia-manusia lain.

Aku menyebutnya permainan karena bukan demikian yang selayaknya. Tidak ada cetak baku bagaimana kita menghadapi dunia ini. Seperti topeng yang bisa kita kenakan atau tanggalkan. InsyaAllah hanya kita, umat manusia, di alam raya ini yang diberi keleluasaan oleh Tuhan untuk memilih “topeng” selama hidup di dunia.

Seorang teman meretwit kalimat bagus dari Maulana Rumi yang kemudian aku retwit ulang. Bunyinya kira-kira begini: “ Berterimakasihlah pada siapapun yang datang di kehidupanmu karena dia dikirimkan atas pesan Tuhan untuk memandumu”.

Berterimakasih kepada siapapun… betapa jarang kita melakukannya. Bahkan kepada orang-orang yang senyatanya telah berjasa dalam kehidupan kita, jarang kita sampaikan terimakasih tulus. Apalagi kepada orang-orang awam atau orang-orang yang telah mengecewakan kita.

Kita, minimal aku sendiri, mudah terganggu oleh kehadiran orang yang tidak kita kehendaki. Sebaliknya sering mengharap kehadiran orang yang kita inginkan, bahkan ketika orang tersebut tidak nyata. Tanpa sadar mengabaikan potensi-potensi di sekitar kita, para sahabat sejati, para guru, mursyid. Kesemuanya menyebabkan kemanusiaan kita macet tak berkembang.

Ada ungkapan “orang jahat adalah guru sejati”. Kejahatan mereka membuat kita tersadar untuk berbuat sebaliknya. Bahkan menurutku Nahi Munkar (menghindari kejahatan) lebih cepat kita tangkap maknanya daripada Amar Ma’ruf (menyeru kepada kebaikan).

Setiap jiwa memiliki arti, siapapun dia. Itu kesimpulanku. Kita hadir dalam kebingungan yang sama di tengah dunia yang rapuh ini. Ada kebahagiaan, banyak pula kesakitan. Tak ada kesempurnaan, semua saling menopang, menghidupi, saling memberi nafas. Kalau tidak salah Rumi juga mengingatkan kita pada dunia yang campur baur ini mustahil dipisahkan, ada Tuhan ada pula Setan. Itulah sifat dunia yang kita terjebak di dalamnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS