Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SUAR TIPIS

Sesuatu akan jelas pada waktunya, dengan sendirinya. Dan jika kebenaran telah terkuak, maka seluruh penjelasan tiada dibutuhkan lagi. Ia jelas di dalam dirinya sendiri. Secara sempurna.

Tetapi sebagai manusia biasa tak jarang kita memaksakan kehadiran penjelasan sebelum jiwa kita sepenuhnya mekar. Kita bertanya pada orang di sekeliling sekadar untuk mencocokkan pandangan mereka dengan keraguan kita. Kita bersembunyi di balik nama Tuhan, bertanya dan berdoa, sekadar meminta legitimasi dan jaminan kenyamanan batin yang semu. Dan kita luput bertanya ke dalam diri sendiri. Pertumbuhan batiniah semacam inikah yang kita harapkan?

Lalu kita berlari kesana kemari, memburu keyakinan yang terbang bagai layang-layang putus. Menyumpahi hari ini tetapi berdamai dengan esok. Menangisi kemaren, tetapi memuja esok lusa… tak ada beda saat kita menangis, bernyanyi, atau tertawa. Semua berlalu begitu saja seperti tajuk koran setiap hari.

Kita bertanya dan berdoa seakan sedang mencari jawaban, meretas jalan menuju sinar. Kita lalai bahwa sebagian besar pertanyaan dan doa kita hanya alat pembenar sahaja. Baik pembenaran atas “kebenaran” yang telah kita yakini, atau pembenaran atas “kekonyolan” yang kita lakukan selama ini. Tetapi kita tidak hendak kemana-mana selain memuaskan diri dengan kesadaran palsu. Betapa hebat hati kita menelikung…

Hati bagaikan seekor kuda liar yang sering kita remehkan kekuatannya. Berlagak bisa menungganginya secara benar, menganggapnya telah jinak dan bisa kita kendalikan. Nyatanya kuda liar itu menyeret langkah sesukanya. Membawa kita serta di punggungnya. Kita menungganginya, tetapi tidak mengendalikannya. Berhati-hatilah dengan Hati…

Kejelasan paripurna hanya datang saat kita di ambang mabuk. Kehadirannya menyeruak tanpa bisa dicegah. Seperti terbitnya mentari di setiap pagi. Kehadiran itu sangat tipis, hanya satu larik cahaya yang menyekat ada dan tiada. Antara gelap dan terang. Dan semuanya tak sanggup kita pertanyakan apalagi kita bantah. Ia jelas dengan sendirinya, di dalam dirinya sendiri.

We skipped the light fandango
turned cartwheels 'cross the floor
I was feeling kinda seasick
but the crowd called out for more
The room was humming harder
as the ceiling flew away
When we called out for another drink
the waiter brought a tray

And so it was that later
as the miller told his tale
that her face, at first just ghostly,
turned a whiter shade of pale

She said, 'There is no reason
and the truth is plain to see.'
But I wandered through my playing cards
and would not let her be
one of sixteen vestal virgins
who were leaving for the coast
and although my eyes were open
they might have just as well've been closed

(Procol Harum)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS