Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

HAJI: Tentang Motif

Menyempurnakan rukun Islam; Inilah jawaban paling mudah saat ditanya apa tujuan kita berhaji ke tanah suci. Mengingatkan kita pada rumus kuliner 4 sehat 5 sempurna, setelah makan nasi, lauk, sayur, buah, minumlah susu sebagai penyempurna. Setelah Syahadat, Shalat, Puasa, dan Zakat, maka berhajilah ke tanah suci.

Tetapi jawaban ini dapat mendorong kita ke arah konsep umum yang mudah menggelinding menjadi ritual penggugur kewajiban. Betapa banyak ibadah kita yang hanya menjadi penggugur kewajiban belaka. Yang penting saya sudah shalat maka telah gugurlah kewajiban saya sebagai muslim, yang penting sudah membayar zakat, yang penting sudah haji dst dsb

Tentu saja itu tidak salah dan tulisan ini bukan tentang salah dan benar. Dengan demikian tidak salah pula jika kita hendak mendalami makna ibadah yang hendak kita jalani, apalagi jika ibadah itu bergelar: penyempurna rukun Islam.

Ketika sadar akan berangkat haji aku dihadapkan pada pertanyaan yang sama. Aku merenung memikirkannya; apa tujuanku berhaji? Sejujurnya belum pernah aku membayangkan akan berhaji dalam waktu dekat, bukan prioritas buatku. Dalam beberapa kesempatan—dalam suasana penuh arogansi—aku pernah sesumbar: jika ada rezeki lebih maka Eropa-lah tujuanku, bukan Makkah. Allahummaghfirli.

Nyatanya aku pasti ke Makkah dan aku harus temukan jawaban itu. Maka terpaksa aku harus memikirkan kembali jalan kehidupanku; tentang iman yang timbul tenggelam, tentang hati yang berbolak-balik, tentang garis nasib yang tidak jelas, tentang rejeki yang kusut masai, tentang jodoh yang kian samar, tentang dosa-dosa yang menggunung, tentang stagnasi hidup, tentang semua derita, tentang semua keluh kesah dan kekalahan.

Dan aku tiba pada kesimpulan yang sedikit arogan. Aku berharap hajiku ini akan merubahku menjadi manusia baru, fase baru, tujuan baru, aku yang baru dst… bahkan terhadap sejumlah kawan yang bertanya apakah aku akan nyaleg pada pemilu 2014 kujawab: Tunggu setelah aku selesai haji!.

Lalu tibalah aku di tanah suci. Sedikit berdebar ketika pertama kali melihat pucuk menara Masjid Nabawi di Madinah, bergegas sowan menjumpainya.

Hari demi hari berlalu namun aku tidak menemukan momentum menggelegar sesuai tujuan yang telah kucanangkan. Tidak ada linangan air mata di tengah doa, tak ada degupan jantung yang sesakkan dada. Bertambah hari semua ritual menjadi makin biasa. Tunggulah hingga di Makkah, demikian seruku. Namun ketika sampai di kota paling suci itu motivasi beribadah justru makin kendur.

Dan aku menemukan betapa tujuan awalku berhaji menjadi semakin mewah dan menjauh dariku. Aku harus merevisinya, demikian kataku. Harus kutemukan tujuan baru dalam berhaji ini. Maka kususutkan tujuan itu menjadi: Mencari pengampunan dari dosa-dosaku yang menggunung. Lalu kuperbanyak istighfar, memikirkan dosa-dosa tersebut untuk memancing penyesalan. Kuhabiskan waktu yang panjang untuk beristighfar.

Namun, kembali lagi aku tidak pernah dihinggapi momentum yang merenggut jiwa. Seperti doa-doa kosong yang kita lempar ke langit dan hilang di ketinggian. Saat di Mina, seseorang berguman di dekatku: "sungguh luar biasa orang yang tidak menangis menyesali dosa-dosanya saat di Arafah…" saya menjawab dalam hati: "orang itu ada di dekatmu sekarang!".

Rasa penasaran mendorongku memaksimalkan eksploitasi batin untuk mengharap pengampunan hingga kuputuskan untuk ndeprok I’tikaf di pelataran Ka’bah di ujung malam, menggelar shalat tobat sambil memeras pikiran dan hati. Tetap tak ada air mata. Pikiran justru mengembara kemana-mana. Wahai…jenis apakah aku ini? Setinggi inikah hatiku???

Berbekal nasihat seorang kawan yang menyebut tentang “birrul walidain”, akhirnya aku harus menyerah hingga ke titik minimalis; haji ini semata-mata adalah untuk ibuku. Membantu ibuku menyempurnakan hajinya, menyemangati beliau, memastikan kesehatan beliau. Dengan itu aku berharap ikut kecipratan pahala dari ibuku. Aku juga berusaha meringankan kaki dan tangan untuk membantu jamaah lain yang tersesat atau kebingungan semata-mata agar ada doanya yang dibagikan kepadaku. Juga sebanyak mungkin menawari mendokan teman-teman di tanah air, siapa tahu ada yang makbul dan aku mendapatkan sedikit bagian. Hanya itulah yang aku sanggup lakukan disana.

Sesaat setelah kembali ke tanah air, seseorang mengatakan kepadaku satu kalimat: "salah satu dosa terbesar orang yang berhaji adalah tidak mempercayai bahwa doanya dikabulkan". Entah apa maksudnya mengatakan itu kepadaku, namun kalimat itu bagaikan anak panah yang meluncur deras ke hatiku.Jlebb!

Semoga benar kata Rumi, andai ibadahmu palsu belaka tetaplah persembahkan mata uang palsu itu kepada Allah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: