Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Berani Jujur Hebat (Sejenis Curhat)

Diam-diam aku makin menyadari bahwa aku ternyata tak punya tekad yang cukup kuat untuk melewati sebuah pintu yang di baliknya ada keharusan untuk berbagi dengan seseorang. Tak punya tekad mungkin bisa diperkasar dengan ungkapan tak ada keberanian. Aku membayangkan sebuah kengerian ketika seseorang harus tahu aku luar dalam, dan akupun harus menerima kenyataan harus memahami seseorang luar dalam. Sedikit banyak ini kubaca dari perubahan teman-temanku setelah mereka arungi bahtera itu.


Ahay... mungkin aku sedang berdalih melalui konsep-konsep rumit ini. Bagi kamu, ini bisa lebih sederhana. Seperti orang-orang yang berusaha menawarkan iming-iming: "enak lo...ada yang merawat, ada yang memperhatikan, ketimbang nggak jelas kaya gitu", atau yang lebih sadis "jangan-jangan kamu gay..", atau "maumu apa sih? jangan milih-milih lah, sadar diri..", jujur aku tak mampu menjawab sepatah katapun selain berusaha keras menghindar.

Kadang aku berpikir yang membuat aku merasa tidak/kurang normal justru adalah gencarnya kalian memberi perspektif tentang pernikahan. Dengan kalimat lain, kalian lah yang menyebabkan aku jadi seperti pesakitan. Yahay...ini mungkin hanya dalih yang lain.

Yang lucu, ada kawan yang ketika mendengar aku sakit flu langsung memberi nasehat gratis "Itulah kalau tidak ada yang merawat...sakit kaan", meski aku dan dia tahu bahwa suaminya lebih sering sakit dari aku. Yah tapi ini hanya argumen kecil yang tidak bermanfaat. Jauh dari lubuk hati yang paling dalam, aku memaklumi kenormalan kalian. Karena kalian sangat banyak dan aku cuma sendiri.

Aku pernah berpikir aku butuh stimulan yang sungguh kuat mendorong keberanianku untuk melewati pintu itu. Aku pernah merasakan stimulan itu yang membuatku justru terkoyak-koyak. Dengannya aku rela permalukan diri sendiri, ingin mengelilinginya sepanjang waktu, seperti bumi mengitari mentari, menantinya membukakan jendelanya untukku. Namun tak ada mentari terbit, tak kunjung jendela terbuka. Terjebak dalam rimba gulita yang kuciptakan sendiri. Mungkin ia tertawa menyeringai sambil mengintip dari balik jendela, menjadi saksi bisu atas kepalsuanku atau kekonyolanku.

Dan aku belum memaafkan diriku sendiri atas stimulan sepihak itu. Belum sepenuhnya. Meski sadar bahwa ini hanya kekonyolan yang tak ada guna. Lebih baik mengakuinya ketimbang menyangkalnya. Mengakui pahalanya satu, menyangkal malah tak kemana-mana.

Dengan gagalnya stimulan itu, runtuh pula teoriku. Seperti kalian sering bilang, tak perlu teori tak perlu logika. Jalani dan lakukan saja atas nama tujuan yang lebih realistis, hidup terawat dan beranak-pinak, memenuhi bumi Allah ini dengan anak manusia.

Tentu saja aku tak tahu apa yang akan terjadi besok atau lusa, apakah aku dapat menghentikan ke-keraskepala-anku (atau menurut kalian kekonyolanku)atau memilih menjadi "normal" seperti kalian. Hari ini aku memilih mengalir saja. Mungkin itu bukan pilihan yang konkret, tapi aku sudah tak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Tak ada teori lagi. THE END.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: